Rabu, Oktober 03, 2007

Politik Kader

PROSPEK POLITIK REFORMATIF INDONESIA:
DARI KADER MENJADI TOKOH

Oleh A. Naufal Ramzy


I. Pendahuluan

Tatkala bangsa Indonesia mengalami pergantian rezim pemerintahan pada 21 Mei 1998, dari rezim Orde Baru ke rezim Orde Reformasi, terlalu banyak harapan-harapan idealistik yang dicanangkan oleh bangsa ini. Sepertinya bangsa ini akan keluar dari sekeranjang problematika politik dan ketidak-adilan ekonomi menuju gerbang baru bertitel “negeri yang adil dan makmur”.
Tetapi apa yang terjadi ? Kebebasan yang diperoleh sebagai “hasil” pergantian rezim diberi interpretasi bermacam- macam dan amat diprioritaskan ketimbang memperbaiki kondisi ekonomi rakyat banyak yang bergelimang kemiskinan. Aneka interpretasi atas term kebebasan itu sampai berubah menjadi polusi baru (kata Harry Roesli). Seloroh Harry Roesli (2005 : 52, 53) begini:

“Apa yang dilakukan oleh parlemen juga sebuah polusi dari kebebasan. Yaitu, mereka dengan sangat bebas berlindung di balik nama rakyat dan dengan sebebas-bebasnya meng-atas-namakan rakyat, untuk pembenaran menjadi kaum otoriter baru. Benar-benar bebas dan bebas.” “Dan apakah rakyat juga merasakan kebebasan ini ? O, ya, pasti ! Paling tidak, rakyat terbebas dari perhatian Gus Dur dan parlemen (yang notabene wajib mengurusnya). Keterbe-basan yang satu ini dalam bahasa ilmiahnya ialah..... dicuekin !! Atau tepatnya, Gus Dur dan parlemen bebas untuk mencuekin rakyat!” “Mungkin republik ini sudah menjadi Republik Cuek, alias Republik Funky !! Setelah sempat di zaman Soeharto berganti nama menjadi Republik Daripada Indonesia.”

Mengapa kondisi semacam itu terjadi ? Salah satu sebabnya, kata Harry Roesli, karena menjadi anggota legislatif tidak dipandang sebagai jabatan politik mewakili rakyat, namun dipahami sebagai jabatan profesional alias mencari penghasilan. Karenanya, kata Harry Roesli (2005: 219), nama DPR / DPRD itu mestinya dirubah menjadi PT/CV DPR atau PT/CV DPRD.

Nah, jika pada tahun 2007 ini bangsa Indonesia masih mempunyai sekian banyak tipe anggota legislatif semacam itu, yang diantaranya juga karena mereka “kader jenggot” alias hanya mengakar ke atas (elite pimpinan partai), yakni tidak mengakar ke bawah (rakyat yang mesti diwakilinya), maka letak “something wrong”-nya diduga kuat adalah berpusat pada soal ideologi partai dan para elite pimpinannya. Mestinya, kata Umaruddin Masdar (1999: 29),ideologi itu dipahami sebagai seperangkat konsep gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dipandang paling baik.Dalam perspektif itu, betapa amat urgen adanya partai politik yang visi-misinya berkonotasi ideologis semacam itu, dan tentu juga dipimpin oleh para elite yang ber-akhlaqul karimah.

II. Konsep Kaderisasi Partai Politik

Term kaderisasi sangat dekat dengan makna pembibitan calon seorang pemimpin (tokoh). Namun kaderisasi di dalam organisasi massa tentu sangat berbeda dengan kaderisasi di dalam partai politik. Hal ini karena sering dipengaruhi oleh performance kelembagaannya, apakah masih bercorak paguyuban atau bercorak patembayan. Organisasi massa yang bercorak paguyuban biasanya dikelola oleh seorang pemimpin yang kharismatik yang berbasis pada faktor “darah biru” (keturunan). Memang ada organisasi massa yang bercorak patembayan, tetapi masih sangat sedikit. Adapun partai politik yang bercorak patembayan selalu diketuai oleh pemimpin yang intelektual-demokratis (legal-rasional) yang berbasis pada faktor kualitas SDM-nya, baik dari aspek akhlaqul karimah maupun aspek intelektualnya. Jika ternyata ada partai politik yang cenderung bercorak paguyuban, maka diduga kuat di dalamnya selalu terjadi konflik yang akut.

Konsep kaderisasi partai politik yang hendak ditawarkan dalam makalah ini adalah konsep yang mengidealisasikan corak kepemimpinan yang intelektual-demokratis (legal-rasional). Corak kepemimpinan semacam ini yang dibutuhkan oleh masa depan bangsa Indonesia, yang tentu proses pentradisiannya mestinya dimulai dari sejak memasuki zaman reformasi kemarin. Atas hal ini Kuntowijoyo (1997: 187) berpendapat:“Kepemimpinan kharismatik itu tidak baik untuk masa depan Indonesia. Mestinya kita meninggalkan kepemimpinan kharismatik menuju ke kepemimpinan legal-rasional, kepemim- pinan rasional yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan wibawa perorangan. Kita tidak boleh memberi jawaban masa lalu untuk persoalan masa kini. Kepemimpinan politik kharismatik itu ketinggalan zaman, tidak stabil untuk jangka panjang.”

Konsep kaderisasi yang dimaksud di atas mengacu kepada tiga prinsip pembinaan, yaitu: Pembinaan kapasitas keilmuan, pembinaan mentalitas keberislaman, dan pembinaan kreativitas amal saleh sosial.

A. Pembinaan Kapasitas Keilmuan

Pembinaan kapasitas keilmuan terhadap kader-kader partai politik mencakup pemberdayaan akal pikir dan akal budi mereka dalam memahami beberapa teori atau konsep penting yang mesti dijadikan nilai dasar perjuangan, yaitu:

Pertama, bahwa beraktivitas di sektor politik adalah bagian dari jihad fi sabilillah atau kerja keras untuk menegak- kan nilai-nilai atau ajaran agama Islam di muka bumi. Term jihad yang di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 41 kali dengan berbagai bentuknya, menurut M. Quraish Shihab (1996: 501), terambil dari kata jahd yang berarti letih atau sukar dan dari kata juhd yang berarti kemampuan. Karenanya term jihad identik dengan kegiatan yang meletihkan tetapi disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Makna jihad di sini bisa dikonfirmasikan pada Al-Qur’an S. Ali ‘Imran: 142 yang artinya : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar”.

Dengan kesadaran semacam itu harus pula diyakini bahwa siapa pun umat Islam, apalagi kader partai, yang berjihad di jalan Allah (mematuhi Al-Qur’an dan As-Sunnah) maka Allah akan selalu memberikan petunjuk kepadanya. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an S. Al-Ankabut: 69 yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Betapa urgennya berjihad ! Tentu, berjihad di sektor politik juga dapat mempermutu ketakwaan seorang muslim. Soal ini dapat disimak dalam Al-Qur’an S. Al-Maidah: 35 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Kedua, bahwa beraktivitas di sektor politik adalah dalam rangka memperjuangkan terbentuknya pemerintahan yang baik. Apakah itu ? Pemerintahan yang baik, kata Umaruddin Masdar (1999: 134), ialah sekumpulan prinsip dan gagasan tentang keabsahan (legiti- masi), kewenangan (kompetensi) dan pertanggungjawaban (accountability) dari pemerintah, tentang penghormatan terhadap kewibawaan (supremasi) hukum dan perangkatnya dan hak asasi manusia, serta berbagai hal lainnya yang diharapkan oleh rakyat dari pemerintah yang melayani kepentingan khalayak.

Ketiga, bahwa beraktivitas di sektor politik sangat membutuhkan etos belajar atau semangat membaca yang tinggi, agar supaya tidak tertinggal dalam mengakses informasi baru perihal poleksosbudhankam atau supaya tidak telmi (telat mikir) dalam memahami teori-teori baru keilmuan.

B. Pembinaan Mentalitas Keberislaman

Pembinaan mentalitas keberislaman buat kader-kader partai adalah pembiasaan ber-akhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus menghindari segala sikap dan perbuatan yang melanggar ajaran agama Islam atau melanggar hukum-hukum positif nasional. Hal ini meliputi :

Pertama, meneladani seluruh sifat akhlaqul karimah Rasulullah SAW, minimal mencerna dan meniru 4 sifat beliau yaitu shidiq, amanah, tabligh, fathanah. Beliau sangat terkenal sebagai pemimpin yang membangkitkan harga diri rakyat kecil (dhu’afa) dan kaum fakir miskin. Beliau pun amat perduli membela kaum yang tertindas (mustadh’afin). Hal ini beliau buktikan dalam sepanjang kehidupannya yang penuh dengan pola hidup sangat bersahaja dan sangat dekat dengan orang-orang miskin.
Tentang kebersahajaan Rasulullah SAW bisa disimak dalam tulisan Jalaluddin Rakhmat (1995: 83) berikut: “Ia tidur di atas tikar kasar yang dianyamnya dengan tangan sendiri, dan sering tampak pada pipinya bekas-bekas tikar itu. Umar (bin Khathab) pernah meneteskan airmata karena terharu melihat rumah Rasulullah hanya dilengkapi dengan ghariba (wadah air dari kulit) dan roti yang sudah menghitam. Ia memilih hidup sederhana, bukan karena ia mengharamkan yang halal, melainkan karena ingin merasa dekat dengan mereka yang paling miskin. Dia, sebagai pemimpin, tak ingin membuat jarak dengan mereka.”

Kedua, membiasakan diri menggunakan suara hati nurani dalam meresponsi masalah-masalah rakyat. Sebab yang harus dipatuhi bukan hanya hukum-hukum positif formal yang tertulis, tetapi juga “hukum-hukum” kebaikan yang berbasis pada kebenaran versi hati nurani.

C. Pembinaan Kreativitas Amal Saleh Sosial

Pembinaan yang terakhir ini identik dengan kerja nyata dalam berjuang membela rakyat yang dirugikan oleh sistem sosial budaya ekonomi yang dilaksanakan oleh negara. Misalnya, kemiskinan struktural yang mulai melebar memasuki kawasan pedesaan semestinya diprioritaskan untuk dibela dan dientaskan. Contoh, ketidakberdayaan para petani tembakau di Madura untuk menentukan harga jualnya tatkala berhadapan dengan kepentingan pabrik rokok, seharusnya mereka diadvokasi oleh para anggota DPRD, bukan dibiarkan mereka selalu diperlemah oleh pihak pabrik.Contoh yang lain, mengapa kreativitas aparat Pemda dan DPRD Sumenep dalam hal pemberdayaan zakat mal dan pembentukan BAZ tingkat kabupaten selalu sulit dilakukan dan disepakati oleh para elite pemimpin kawasan ini, termasuk sulit didukung penuh oleh para kyai ? Mengapa kalau BAZ di kabupaten Pamekasan bisa dan cukup sukses sehingga nilainya kini mendekati angka 1 miliyar ? Mengapa? Jawabannya tidak terlalu sulit ditemukan walau hanya masih bercorak hipotetif. Begitu kira-kira dan mohon ma’af ! Wallahu A’lam bi al-Shawab.

(*) Penulis adalah Pengamat Freelance. Makalah ini telah didiskusikan dalam Acara Madrasah Politik Ramadhan 1428 di Sekretariat DPD PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Kab.Sumenep pada Ahad Pon, 18 Ramadhan 1428 H / 30 September 2007 M.

Referensi :
1. Harry Roesli, Republik Funky: Asal Usul Harry Roesli (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2005), Cetakan ke-1.
2. Umaruddin Masdar, Dkk., Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik
(Yogyakarta: LKIS, 1999), Cetakan ke-1.
3. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), Cetakan ke-2.
4. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-3.
5. Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan,
1995), Cetakan ke-7.

Tidak ada komentar: