Sabtu, Oktober 06, 2007

Hikmah Al-Qur'an

FUNGSI AL-QUR'AN DALAM PERUBAHAN SOSIAL
MENUJU MASYARAKAT MADANI

Oleh A. Naufal Ramzy

A. Pendahuluan

Mencermati fenomena perkembangan umat Islam dewasa ini terdapat dua hipotesa (kesimpulan sementara) yang justru bertolakbelakang. Di satu sisi, umat Islam sibuk membangun dan merenovasi bangunan masjid secara lebih megah dan juga kian banyak yang menunaikan ibadah haji untuk yang keduakalinya. Namun di sisi lain, sekian banyak umat Islam sibuk menjadi pelaku rentenir, pelaku korupsi, pengadu-domba, pemfitnah dan sekian macam perbuatan maksiat lainnya seperti menipu,berzina dan pengguna narkoba. Dua fenomena ini mencuatkan satu pertanyaan klasik: “Ada something wrong apakah di tengah umat Islam sehingga peradaban mereka semakin terpuruk?”

Hal tersebut berdasar pengamatan oleh pihak internal umat Islam sendiri karena begitu kecewa dan cemasnya melihat fakta-fakta kontradiktif mereka. Akan tetapi di kalangan eksternal umat Islam beredar suatu persepsi bahwa sangatlah sulit memurtadkan umat Islam untuk pindah ke agama lain oleh karena sejak 10 tahun yang lalu tumbuh gairah yang kuat untuk mendirikan lembaga TK Al-Qur'an hingga ke pelosok pedesaan. Penyebaran dirintisnya TK Al-Qur'an memberikan efek domino yang sangat fungsional terhadap kehidupan umat Islam, bahwa sebagai penganut agama Islam tidak sepantasnya mereka tidak mengenal dan tidak memahami kitab suci agamanya dari sejak usia dini.

Oleh karena itu, menyikapi fenomena banyaknya umat Islam yang semakin rajin berbuat maksiat, tidak sepantasnya terlalu pesimistik menatap masa depan peradaban mereka. Sebab sekian banyak anak-anak, putera-puteri mereka, sudah mengenal teks-teks Al-Qur'an sejak mereka berumur 4 tahun. Apalagi di tengah umat Islam kini juga tumbuh gairah merintis TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) setingkat MI / SD dan MTA (Ma’had Tahfidh Al-Qur an) setingkat SMP dan SMU. Misalnya program Tahfidh al-Qur'an yang sejak 10 tahun yang lalu diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura pada tingkat SMP, SMU dan MAK.

Nah, cukupkah kitab suci Al-Qur'an al-Karim hanya dibaca, dihafalkan, dan dipahami maknanya ? Bukankah jika tak diamalkan tentu tidak akan berfungsi maksimal bagi perubahan dan pengembangan kehidupan masyarakat ?

B. Prinsip-prinsip Kandungan Al-Qur'an

Secara bahasa, Kata Al-Qur an berarti bacaan yang sempurna, kitab suci yang sangat lengkap, dan merupakan miniatur “ayat-ayat Allah” yang terhampar dari seluruh fakta Kemahabesaran-Nya yang bersifat mukjizati. Kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Al-Qur'an ini, bukanlah sekedar menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia,namun juga bisa menjadi mitra dialog (teman curhat) dalam menyikapi aneka ragam problematika kehidupan.

Seluruh ayat Al-Qur'an yang berjumlah 6236 ayat, menurut M. Natsir Arsyad (1996: 13),terbagi menjadi lima prinsip kandungan keislaman:

Pertama, aqidah tauhid yang menegaskan bahwa Allah SWT adalah Maha Esa dan tidak ada tuhan apa pun kecuali Dia. Demikian juga, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah rasul dan utusan-Nya yang terakhir. Rukun Iman yang enam juga termasuk dalam prinsip yang pertama ini.

Kedua, syari’at yang terdiri atas ibadah mahdhah (murni) yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, dan ibadah mu’amalah (ibadah sosial) yang mengatur hubungan timbal balik antar sesama manusia, seperti transaksi bisnis, akad nikah,persaksian,termasuk juga hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya dan alam lingkungan ekologis.

Ketiga, akhlak yang mulia, yang menyucikan perilaku dari perbuatan tercela, membersihkan jiwa dari kepamrihan, dan mengajak hati nurani untuk mencapai kebahagiaan di mata Allah.

Keempat, kisah-kisah masa lalu untuk ditarik pelajaran darinya, sebagai peringatan, perbandingan, keteladanan dan perumpamaan yang bernilai sehingga umat manusia bisa lebih bijak (‘arif) merespon setiap problema hidup. Misalnya kisah Nabi Yusuf, Nabi Sulaiman, Nabi Yunus, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Muhammad SAW dan lainnya.

Kelima, berita-berita masa depan dan pasca masa depan serta bentuk-bentuk ilmu pengetahuan modern. Seperti teori kejadian alam semesta, posisi matahari, bumi, proses kehidupan makhluk yang berpasang-pasangan dan lainnya.

Kelima macam prinsip itu disederhanakan lagi menjadi 3 (tiga) pilar (dimensi) doktrinal agama Islam yaitu: Dimensi Aqidah, Dimensi Syari’ah, dan Dimensi Akhlak. Umat Islam diatur untuk mengamalkan ketiga dimensi ini sepanjang hidup, dari mulai bangun tidur hingga tengah malam mau tidur kembali.

Maka jika kembali kepada pertanyaan tadi: “Ada something wrong apakah di tengah umat Islam sehingga peradaban mereka semakin terpuruk?” Jawabannya: Mungkin sebagian besar dari mereka tidak secara simultan mengamalkan ketiga dimensi ajaran Islam tersebut, yakni bermoralitas ganda, kata Sudirman Tebba (1993: 68-75). Mereka telah rajin shalat dan bergelar haji, tetapi dalam berekonomi mereka tega menggunakan cara-cara penipuan dan model yang haram lainnya. Mengapa demikian, karena bisa jadi keislaman mereka hanyalah Islam kultural yang berbasis pada adat-istiadat, bukan Islam yang spiritualistik yang berbasis pada kesadaran teologis (bertauhid) secara pribadi. Mereka berislam secara asesoris yang menempatkan Allah tidak di puncak wawasan berpikirnya. Allah tidak penting bagi mereka. Yang terpenting bagi mereka bagaimana meraih uang yang sebanyak-banyaknya untuk memuaskan naluri hawa nafsu mereka. Tanpa sadar, menurut istilah Kuntowijoyo (1997: 173), mereka telah memegang dan mengamalkan paham (ideologi) materialisme yang hedonistik.

C. Al-Qur'an Sebagai Paradigma Perubahan Sosial

Jika sebagian banyak umat Islam telah tanpa segan lagi mengamalkan paham materialisme, masihkah kondisi semacam itu diperbaiki dan ditemukan solusinya yang terbaik ?

Tentu harus menjawab masih ! Sebab umat Islam masih bermodal besar yang berupa kitab suci Al-Qur'an. Perubahan so- sial umat Islam masih bisa dilakukan secara prospektif apabila mereka mau menyadari tentang pentingnya “Kembali kepada Al-Qur'an”. Dengan sikap ini, otomatis juga akan amat memper- hatikan seluruh sabda, sikap dan tradisi Nabi Muhammad SAW. Dengan Al-Qur'an sebagai basis rujukan perilaku hidup, maka dijamin oleh Allah bahwa mereka akan terangkis dari kegelapan atau kegelisahan hidup yang terus-menerus. Firman-Nya:(Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (Al-Qur an S. Ibrahim : 1).

Dalam petikan ayat di atas terdapat 3 kata kunci yang menentukan perbaikan hidup umat manusia. Pertama, umat manusia pasti membutuhkan “cahaya terang benderang” dalam kehidupannya, dan tidak mungkin mereka menyukai suasana hidup yang “gelap gulita”. Kedua, Al-Qur'an dapat di-efektif-kan dengan cara dibaca, didalami maknanya dan diamalkan ajarannya, agar supaya diperoleh jalan lurus untuk memperoleh hidayah Allah. Ketiga,usaha meng-efektif-kan ajaran Al-Qur an dalam kehidupan sehari-hari juga sangat ditentukan oleh izin (hak prerogatif) dari Allah, yakni pertolongan-Nya, sebab tanpa ini semua sia-sia.

Maka tatkala seseorang mengalami kebangkrutan dalam sistem kehidupannya, baik bangkrut secara finansial maupun secara spiritual, ia tidak sepantasnya lari dari kenyataan dan kemudian “berfatamorgana” dalam bentuk doyan mengkonsumsi miras atau narkoba (sabu-sabu & sejenisnya), maupun menjadi aktivis judi. Ia sebaiknya melakukan langkah-langkah strategis berikut:

Pertama, berkonsultasi (curhat) pada seorang guru (figur) spiritual yang berakhlak luhur / bermoral tinggi di mana segenap perilakunya patut diteladani karena bercorak konsisten antara ucapan dan amal salehnya sehari-hari.

Kedua, memperbaiki kualitas shalat fardhu dan shalat sunnahnya. Sebab dengan shalat yang bermutu maka seseorang dapat terhindar dari perbuatan jahat (jahat pada diri sendiri atau para orang lain), yang menurut Hamka (1982: 71-80) adalah ibadah shalat yang ikhlas sepenuh hati.

Ketiga, membaca Al-Qur an secara rutin (istiqamah) setiap hari, dan usahakan dipahami dengan maknanya. Sebab jika setiap umat Islam bertemu dengan sederetan redaksi ayat Al-Qur'an maka sesungguhnya mereka bertemu dengan Allah melalui ungkapan firman-Nya. Jika ungkapan ayat Al-Qur'an itu melintas atau diam sejenak di dalam hati nurani dan akal pikiran mereka, Insya Allah akan muncul rasa malu dan rasa berhutang budi kepada Allah atas segala nikmat-nikmat-Nya yang selalu mereka terima dan rasakan setiap waktu. Artinya,andaikan bukan karena pertolongan dan rahmat Allah, tadi malam ketika mereka berangkat tidur, pagi harinya mereka tidak akan bangun kembali yakni tidur selamanya (wafat). Nah, semakin kuat rasa berhutang budi kepada Allah terpatri di dalam jiwa dan wawasan berpikir umat Islam, maka akan kian menguat pula kualitas spiritualistik mereka, sehingga mereka akan rajin beramal shaleh, baik yang personal atau sosial.

Keempat, menambah dan memperluas wawasan berpikir dengan rajin membaca buku ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum. Aktif di bidang pendidikan akan membantu prosesnya hal yang satu ini, baik posisinya sebagai guru / pendidik maupun sebagai pelajar / mahasiswa. Semakin luas wawasan berpikir umat Islam, maka akan semakin mampu berdialog dengan Al-Qur'an, sebab -kata Umar Shihab (1990: 79), salah satu karakter Al-Qur'an adalah siap berdialog dengan seluruh umat manusia, seperti yang tertuang dalam ayat ini:”Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Al-Qur'an S. Shaad: 29).

D. Menuju Terbentuknya Masyarakat Madani

Masyarakat madani -kata M. Dawam Rahardjo (1999: 282)- adalah masyarakat yang penuh kedamaian karena di dalam sistem sosio-kultur-politik-nya telah terbingkai suatu keadilan sosial,kesederajatan, kebebasan berpikir, demokratisasi dan perlindungan HAM. Mungkinkah umat Islam membangun masyarakat madani dalam zaman yang kian kompetitif dan modern ini ? Tentu perlu dijawab: Mungkin dan bisa !

Kunci ke arah sana sederhana, yaitu perubahan sosial yang komprehensif. Dalam arti lain, perubahan yang digerakkan oleh animo kerja keras dan konstan berdoa kepada Allah SWT. Sedangkan kerja keras membutuhkan kecerdasan berpikir dalam mengambil kebijakan publik / personal. Sementara kecer-dasan berpikir mensyaratkan dimilikinya software metodologi berpikir agar supaya valid dalam mengambil kesimpulan.

Karena itu, umat Islam harus memahami secara filosofis firman Allah SWT berikut ini (Al-Qur'an S.Al-Ra’du : 11): “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah [Malaikat Hafadhah]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan [situasi yang mundur terpuruk] yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

(*) Makalah ini telah didiskusikan dalam Forum LKIM (Lembaga Kajian Islam Mujahidin) di rumah Bapak Drs. Moh. Yusuf Suhartono (Kadis Diknas Pemda Kabupaten Pamekasan Madura), Pamekasan, Senin, 18 Jumadilawal 1428 / 04 Juni 2007,Pukul 19.00 - selesai.

Referensi Makalah :

1.M. Natsir Arsyad, Seputar Al-Quran Hadis & Ilmu (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1996), Cet. ke-4.

2.Dewan Penterjemah/Pentafsiran Al-Qur an, Al-Qur an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1989).

3.Sudirman Tebba, “Moralitas Ganda Umat dan Pemikiran Islam”, dalam A.Naufal Ramzy (Editor), Islam dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta: Deviri Ganan, 1993), Cet. ke-1.

4.Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), Cet. ke-2.

5.Hamka, Iman dan Amal Shaleh (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Cet. ke-1.

6.H. Umar Shihab, Al-Qur an dan Rekayasa Sosial (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), Cet. ke-1.

7.M. Dawam Rahardjo, “Pembangunan Orde Baru dan Masyarakat Madani”, dalam TIM Maula (Editor), Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. ke-1.

Peradaban Global

GLOBALISASI PERADABAN DUNIA:
ANTARA HEGEMONI MODERNISME
DAN RESPON PARADIGMA KEISLAMAN

Oleh A. Naufal Ramzy


A. Globalisasi Peradaban Dunia

Jauh sebelum hingar-bingarnya wacana globalisasi peradaban dunia muncul ke permukaan publik, pada tahun 1965, seorang pakar intelektual dari Harvard University Amerika Serikat bernama Harvey Cox (1965) pernah memprediksikan bahwa modernisme dan modernisasi hanya akan menciptakan "secular city" ; bahwa modernisme dan modernisasi adalah lonceng kematian bagi agama-agama. Ia berteori, semakin modern suatu masyarakat, maka semakin jauh pula mereka dari agamanya. Agama diprediksikan tidak akan pernah bangkit lagi di tengah arus modernisasi yang mengglobal dan akan direporkan oleh gerak sekularisasi yang tidak akan terbendung itu.

Apakah itu modernisasi yang kemudian melahirkan isme baru yang disebut modernisme ? Di antara para teoretisi (Samuel Huntington, 1976: 30-31) perspektif modernisasi ada yang menyebut ciri-ciri pokok modernisasi sebagai berikut:

Pertama, modernisasi merupakan proses bertahap. Teori Rostow misalnya, membedakan berbagai fase pertumbuhan ekonomi yang hendak dilalui oleh setiap masyarakat. Masyarakat yang semula berekonomi primitif di suatu saat nanti akan terposisikan di dalam tatanan sosial ekonomi yang maju dan kompleks. Jadi menurut teori ini, modernisasi ditafsirkan sebagai proses pengembangan taraf ekonomi masyarakat secara pelan-pelan dan bertahap. Negeri kita pernah menggunakan teori Rostow ini di zaman rezim Orde Baru melalui konsep pembangunan REPELITA tahap I dan II di mana klimaksnya bukan berhasil menjadi negara yang secara ekonomi "tinggal landas" akan tetapi justru benar-benar mengalami "tinggal di landasan tumpukan hutang kepada IMF".

Kedua, modernisasi juga dipahami sebagai proses homogenisasi. Menurut sudut pandang ini, semakin banyak tahapan kemoderenan dilalui oleh sejumlah besar suatu bangsa, maka semakin homogen bentuk dan karakteristik sosial budaya masyarakatnya.

Ketiga, modernisasi terkadang terwujud dalam bentuk peniruan total terhadap budaya ekonomi negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Bahkan untuk mencapai kemajuan ekonomi seperti mereka, tradisi-tradisi baru yang ultra-liberal tak dipersoalkan lagi dari perspektif ajaran agama. Sikap latah meniru mereka menghinggapi hampir sebagian besar negara-negara dunia ketiga (negara-negara selatan), termasuk negeri kita Indonesia.

Keempat, modernisasi juga dipandang sebagai proses yang tidak bergerak mundur. Karena tatkala paradigma ini telah terinternalisir ke dalam sudut-sudut pikirannya maka tidaklah dapat lagi dihentikan. Dalam hal ini modernisasi dinilai sebagai "suatu jawaban universal" problematika negara-negara dunia ketiga, terlepas apakah nanti bertentangan dengan tradisi lokal yang bercorak luhur.

Kelima, modernisasi merupakan perubahan progresif. Sekalipun efek samping maupun korban modernisasi beraneka ragam dan seringkali sangat tidak manusiawi, ternyata dalam jangka panjang, modernisasi tidak sekedar merupakan sesuatu yang pasti terjadi, tetapi lebih dari itu modernisasi dilihat sebagai sesuatu yang diperlukan dan diinginkan. Dalam konteks ini, modernisasi melibatkan proses yang terus-menerus dan sulit dihentikan dikarenakan menyangkut hajat hidup yang primer bagi masyarakat.

Kelima macam ciri pokok modernisasi di atas secara historis cikal-bakalnya dilahirkan oleh ideologi kapitalisme yang secara sistematis mendikte perkembangan sosial budaya ekonomi masyarakat untuk terjun berkecimpung ke tengah gerakan individualisasi manusia. Karena itu, di bidang keagamaan gerakan itu menimbulkan reformasi dalam memahami teks-teks ajaran agama, dan di bidang penalaran berpikir melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan alam baru. Sedangkan di bidang hubungan masyarakat gerakan itu memunculkan ilmu-ilmu sosial baru. Dan yang terutama secara makro, semua itu berada di dalam relasi-relasi kuasa yang hegemonik dari ideologi kapitalisme itu, di mana di sektor ekonomi semuanya itu saling tarik-menarik di atas tujuan-tujuan pragmatis.

Adapun ciri khas ideologi kapitalisme itu, kata William Ebenstein & Edwin Fogelmen (1987: 148-152) berupa : (1) Pemilikan perorangan (individual ownership), yakni menjustifikasi menguasai secara pribadi apa pun yang berada di atas bumi ini. (2) Perekonomian pasar (market economy), bahwa mekanisme ekonomi masyarakat sangat ditentukan oleh kuantitas modal (kapital), volume permintaan dan tingkat penawaran barang atau jasa. (3) Persaingan (Competition), bahwa ekonomi pasar amat melibatkan suasana persaingan, semakin kuat kapital yang dimiliki, maka semakin berpeluang pula memenangkan persaingan yang super-ketat sekalipun. Dan yang (4) Keuntungan (profit), yaitu cita-cita puncak yang pasti diinginkan oleh sang pelaku ekonomi pasar itu. Mereka semua super-sibuk adalah semata-mata mencari profit yang sebesar-besarnya, walaupun berakibat sangat merugikan sekian perekonomian pihak lain yang bermodal kecil.

Tatkala ideologi kapitalisme menyebar melalui politik imperialistik, di saat yang sama semakin pesat pula perkembangan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi. Dua hal yang tumbuh pesat di atas jalur yang paralel ini, menurut Alvin Toffler (1980),pada taraf perkembangannya lalu melahirkan corak peradaban dunia gelombang ketiga, yang ditandai dengan dominannya sektor informasi dan komunikasi di setiap pengambilan keputusan penting yang strategis.

Corak peradaban dunia gelombang ketiga inilah yang kemudian melahirkan arus globalisasi, dan yang terutama ter-globalisir adalah sistem kapitalisme Barat, sehingga negara-negara Komunis pun dapat diterobos dengan memasuki tatatan sistem sosialisme mereka, yang produknya adalah bubarnya negara adikuasa Uni Sovyet. Pembubaran negara Uni Sovyet itu sangat menegaskan kemenangan sistem kapitalisme Barat di tengah ketatnya arus globalisasi peradaban dunia yang sangat menghantam ideologi mereka.

Dalam konteks itu tampaklah bahwa sistem kapitalisme yang semula mulai tumbuh berkembang di negeri Inggris pada abad ke-18 Masehi semakin memperkuat penyebaran modernisasi budaya yang penetratif di seluruh pelosok dunia melalui perdagangan dan imperialisasi.

Bahkan Jurgen Habermas (1981: 20) yang dikutip dari Azyumardi Azra (1993: 5), seorang filosof sosial dari Jerman mengamati, bahwa ekspansi dan globalisasi kapitalisme tidak hanya mendorong lahirnya kehidupan yang materialistik dan hedonistik, tetapi juga semakin mengakibatkan terjadinya instruksi massif terhadap kontrol-kontrol administratif rasional ke dalam banyak sektor kehidupan. Akibatnya, rasa terancam dan kecemasan muncul di kalangan masyarakat terhadap bagian-bagian paling rawan dalam kehidupan mereka, khususnya dalam perilaku keagamaan mereka.

Kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan secara spontan dan lebih diatur oleh adat istiadat, kini, gara-gara globalisasi kapitalisme, harus tunduk di bawah pengaturan-pengaturan yang rinci dan kompleks. Tentu saja tingkat kedalaman intervensi hal itu atas kehidupan sehari-hari dan pribadi dapat dirasakan secara berbeda-beda sesuai dengan posisi mereka di dalam stratifikasi sosial ekonomi masyarakat.

Dalam konteks inilah, pada hakekatnya modernisme yang "berlokomotif" globalisasi kapitalisme itu dipandang gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna dan menyejukkan batin kepada umat manusia. Yang paling disesali adalah betapa di mana-mana terjadi tindakan de-humanisasi (“penjajahan”). Yang namanya manusia sudah tergeser posisinya dan tidak lebih hanya sebagai sekrup suatu mesin raksasa dari sistem saling terkait dari ekonomi kapitalisme dunia.

B. Bangkitnya Spiritualisme Islam

Nah, ketika sekian banyak unsur masyarakat telah dimekanisasi sebagai "robot-robot" kapitalisme global, dan modernisme telah merasuk menjadi nafas-nafas budaya baru yang sangat hegemonik dan sering terkesan tak tertandingi, di lapisan-lapisan masyarakat tertentu terlihat sedang sekuat tenaga menjinakkan kegelisahan hati nuraninya untuk kembali ke dalam habitat spiritualitasnya yang paling primordialistik. Perasaan teralienasi dari bisikan kejujuran hati nuraninya sendiri seakan telah menemukan suatu momentum yang paling membahagiakan dirinya disebabkan telah berjumpa lagi dengan Dzat Sang Pencipta dirinya, yaitu Tuhan.

Dalam situasi jiwa yang transendens semacam itu, tidaklah bermakna lagi berlimpahnya harta kekayaan, sebab kebahagiaan material yang selama ini mereka rasakan hanyalah kebahagiaan yang semu. Adapun kebahagiaan hakiki, kini, bagi mereka, adalah kekayaan spiritualistik yang justru dipandang abadi.

Karena itu, kini, di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, telah bertebaran digiatkannya kursus-kursus kajian sufisme Islam atau acara dzikir bersama. Apalagi memang telah banyak diaktifkan di tengah masyarakat kelompok-kelompok Tarekat, seperti Tarekat Tijaniyah, Naqsabandiyah dan Qadariyah. Satu contoh, Yayasan Tazkiyah yang dikelola oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat di Jakarta adalah forum yang mengelola aktivitas sufisme secara kognitif-intelektual, dan aplikasinya pasti akan bercorak fenomenal. Karena itu, betapa masyarakat Jakarta sekarang mulai menoleh ke aktivitas kerohanian yang asketis.

Di Amerika Serikat pun kajian-kajian sufisme dan aktivitas spiritualitasnya telah lama yang menggejala, sehingga pengarang buku Megatrends 2000, yaitu John Naisbitt dan Patricia Aburdene, berpendapat bahwa globalisasi tidak hanya menimbulkan dekadensi kemanusiaan, namun juga melahirkan kebangkitan "spiritualitas" yang amat bersifat pribadi, walaupun -kata Azyumardi Azra (1993: 7)- tidak menguat sebagai "organized religion".

Jika fenomenanya demikian, berarti salah satu solusi keluar dari problematika yang ditimbulkan oleh modernisme kapitalistik adalah mempelajari ajaran-ajaran sufisme Islam yang pada intinya memperkuat keseimbangan antara kualitas berpikir dan kualitas berdzikir. Berpikir canggih tanpa berdzikir mungkin akan melahirkan produk kreasi budaya yang kontradiktif dengan nilai-nilai agama Islam. Namun, berdzikir saja secara ultra-kontinyu, tanpa berpikir yang rasional, bisa jadi akan menghadirkan efek samping yang disebut “penyakit” apatisme sosial.

Tetapi persoalannya sekarang, mungkinkah dalam kerangka pembangkitan milieu peradaban dunia Islam, efek-efek samping dari globalisasi hanya cukup diberi solusi model gerakan sufisme Islam ?? Jawabannya tentu tidak. Sementara ciri-ciri produk globalisasi peradaban dunia itu, di samping yang positif yang berbentuk bangkitnya dunia faith (keyakinan keagamaan), kata Jalaluddin Rakhmat (1994: 71-75),juga berupa apa yang tergabung di dalam istilah 3 F, yaitu :

Pertama, ragam-ragam food ( makanan ), sekian macam makanan impor yang siap saji di depan mata kita, padahal belum tentu makanan impor itu tidak mengandung zat lemak babi. Fenomena berikutnya, makanan-makanan produk lokal yang murah dan tak kalah bergizinya menjadi tersingkir dari kompetisi pasar.

Kedua, ragam-ragam fashion (model baju terbaru), bahwa kriteria kualitas baju khususnya bagi kaum wanita, tidak lagi dari segi harga yang mahal, tetapi juga dari segi efek sensualitasnya. Semakin ketat baju yang dipakai, maka semakin ingin dipandang memiliki tubuh seksi yang mempesona. Busana "jilbab gaul" yang akhir-akhir ini mengemuka adalah busana perempuan Muslimah yang sangat dipengaruhi oleh model busana ketat dari Barat. Ini memang ironi, kepala perempuan Muslimah itu ditutup dengan kerudung, sementara bajunya ketat sehingga terkesan sedang memamerkan keindahan bentuk dadanya. Anehnya lagi, konon model-model busana "jilbab gaul" itu dirancang (didesain) oleh Hajjah-hajjah baru dari kalangan selebritis. Fenomena ini tak mendapat respons yang seimbang dari para tokoh ulama kita. Entahlah mengapa demikian…. !

Ketiga, aneka ragam fun (hiburan), yang contohnya dapat disaksikan di layar-layar televisi, dari bentuknya yang sopan sampai yang bentuknya bernuansa porno. Dari ciri yang ketiga inilah yang paling banyak menimbulkan efek negatif ke dalam wawasan berpikir para generasi muda Islam. Mentalitas kepribadian mereka sampai ada yang bercorak permisive (menganggap enteng berbuat maksiat, baik dosa-dosa besar ataupun dosa-dosa kecil). Kini, apalagi lewat teknologi handphone dan jaringan internet, betapa sajian-sajiannya kalau tidak difilter sangat mungkin menimbulkan distorsi atau dekadensi moral yang pasti memprihatinkan.

Nah, dalam spektrum tawaran pemikiran di atas, solusi yang bercorak sufisme Islam haruslah berbentuk sufisme yang ciri utamanya adalah verifikasi terhadap motif-motif moral dan penerapan metode dzikir serta moroqobah atau konsentrasi kerohanian guna mendekati Allah SWT dalam rangka meneguhkan keberimanan secara teologis, dan mengaplikasikan mutu kerohanian itu dalam mobilitas sosial budaya ekonomi tanpa harus berpandangan bahwa dimensi keduniawian adalah negatif.

Kemudian aspek lain yang semestinya melengkapi solusi sufisme Islam tersebut ialah wawasan pencerdasan kultural. Jika solusi sufisme itu dikategorikan sebagai langkah transendensi, maka pencerdasan kultural adalah kritisisme berpikir mengenai keadaan dan perkembangan budaya yang ada di lingkungan kita. Dengan pencerdasan ini kita tidak latah meniru budaya-budaya asing walaupun sangat modern. Kita akan terlatih memfilter apa pun yang dibawa oleh budaya-budaya yang berasal dari produk globalisasi peradaban dunia. Akan tetapi kita juga harus tidak eksklusif dalam menerima hal-hal yang positif dari berbagai macam budaya modern itu.

Masalahnya sekarang, bagaimana cara kita mengembangkan relasi-relasi yang bermakna antara wawasan sufisme Islam dengan segala macam budaya-budaya yang positif dari globalisasi peradaban dunia ?? Jawabannya, kata Ignas Kleden (1987: 161-166), kita bisa meminjam teori Ki Hadjar Dewantara yang dikenal dengan asas "tri-kon" yang terdiri dari paham-paham konsentrisitas, kontinuitas dan konvergensi.

Konsentrisitas di sini dimaksudkan sebagai upaya menekankan substansi (inti) yang sentral dari perkembangan budaya yang berlangsung. Artinya, strategi kebudayaannya bertitiktolak dari grand-design tertentu yang dapat dikontrol secara efektif.

Sedangkan kontinuitas ditargetkan sebagai taktik penjabaran budaya yang tak menyebabkan situasi biased (kontradiksinya cita-cita ideal dengan usaha perwujudannya secara faktual). Artinya, antara Das Sollen strategi kebudayaan Islam bisa sinkron dengan Das Sein pada level aplikasinya.

Adapun konvergensi dalam spektrum di sini merupakan sikap budaya yang bisa berakomodasi dengan budaya-budaya lainnya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam.

Dalam konteks ini, gerakan sufisme yang berkarakter sebagai gerakan kebudayaan dapat diposisikan sebagai langkah transformatif yang tidak hanya membantu melakukan perubahan kepribadian spiritual umat Islam secara perorangan, tetapi juga dapat merubah kondiri struktur sosial budaya ekonomi mereka tatkala mereka tidak berdaya berhadapan dengan supra-struktur kekuasaan.

Transformasi di sini -meminjam istilah A. Naufal Ramzy (1993: 163-178)- memang berhadapan dengan kuatnya penetrasi arus globalisasi peradaban dunia. Akan tetapi ketika transformasi ini di-back up oleh solusi sufisme Islam, besar kemungkinan di dalamnya tidak akan terjadi erosi makna yang kontaminatif.

Secara universal, tawaran pemikiran di atas ingin menyeimbangkan keharusan kita dalam menggiatkan aktivitas ijtihad pemikiran yang secara paralel juga serius memasuki dunia sufisme Islam secara intens sesuai dengan substansi ayat 190 dan 191 Al-Qur an S. Ali 'Imran, bahwa di tangan kreasi Ulul Albab-lah pencanangan paradigma keislaman mampu dikonseptualisasi, yang kemudian dapat direalisasikan secara massif justru tatkala "jaring-jaring" globalisasi peradaban dunia semakin gencar memasuki rumah-rumah tangga kaum Muslimin.

Itulah yang diidealisasikan sebagai responsi paradigmatis keislaman atas persaingan kultural yang lintas nilai-nilai. Klimaksnya, tawaran pemikiran di atas meniscayakan kecerdasan dan kesadaran baru, bahwa spiritualisme Islam harus diaktifkan dan digerakkan.

Masalah yang terkadang menghambat usaha mengaplikasikan tawaran tersebut adalah terlalu kuatnya kultur paternalistik umat Islam, sehingga elite-elite pemimpin mereka yang berposisi sebagai patron sering sangat keberatan melakukan perubahan mental. Sebab masih ada kecemasan bahwa mereka nantinya tidak lagi memiliki power yang “menguntungkan” bagi mereka, baik itu keuntungan psikologis, maupun keuntungan materi (finansial).

Jika umat Islam secara merata memperoleh pencerahan berpikir atau kecerdasan sufistik memang akan memunculkan fenomena baru yang berbentuk tumbuhnya kemandirian (independensi) beragama. Artinya, mereka tidak lagi perlu terlibat secara tidak langsung (atau langsung) dalam tindakan “kultus” kepada para elite pemimpinnya. Sebab mereka telah mampu mencari dan menemukan dalil-dalilnya di dalam nash Al- Qur an dan As-Sunnah tentang negatifnya “kultus” itu.

Namun segera atau lambat, sebesar apa pun hambatan seperti yang disinggung di atas itu terjadi, dengan semakin banyaknya anak-anak muda Islam yang memasuki pendidikan perguruan tinggi, dimungkinkan tradisi “kultus” terhadap siapa pun atau apa pun akan berkurang dan habis sama sekali. Sehingga yang biasa “dienakkan” dengan kultur paternalistik, suatu hari nanti akan melihat kenyataan bahwa ajaran Islam yang berdimensi sufistik-teologis memang suatu kebenaran substansial yang berefek domino mengeleminir segala bentuk “kultus”. Sebab “kultus” memang bertentangan dengan konsep monotheisme (tauhid) Islam.

Wallahu A'lam bish-Shawab !

(*) Penulis adalah Dosen Filsafat Ilmu FIA Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan (1997-Kini). Makalah telah didiskusikan dalam Forum Diskusi Ramadhanan 1428 H BEM Fakultas Ilmu Administrasi UNIVERSITAS MADURA (UNIRA) PAMEKASAN
Jl. Raya Panglegur KM 3,5 Kota Pamekasan, pada Senin Legi, 19 Ramadhan 1428 / 01 Oktober 2007.

Referensi Makalah:
1.Harvey Cox, The Secular City: Urbanization and Secularization in Theological (New York: Macmillan, 1965).

2.Samuel Huntington, "The Change to Change : Modernization, Development, and Politics", dalam Cyril E.Black (Editor), Comparative Modernization : A Render (New York : The Free Press, 1976).

3.William Ebenstein & Edwin Fogelman, Isme-isme Dewasa Ini (Jakarta: Penerbit Erlangga,1987),Cetakan Ke-09.

4.Alvin Toffler, The Third Wave (New York : William Morrow & Company, 1980). Gelombang Peradaban I (SM – 1790), Gelombang Peradaban II (1790 – 1900), dan Gelombang Peradaban III (1900 – Zaman Kekinian, dst). Gelombang III ini yang menyuguhkan "revolusi" teknologi informasi-komunikasi.

5.Jurgen Habermas, "The Dialectics of Rationalization : An Interview", Telos, St.Louis (Missouri : Sociology Department, Washington University, 1981).Dikutip dari Azyumardi Azra, "Neo-Sufisme dan Masa Depan Islam" (Jakarta: Diskusi Serial Yayasan Wakaf Paramadina, 1993) KKA Seri ke-71 Tahun VII/1993.

6.Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual : Refleksi Sosial Seorang Cende-kiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1994),Cetakan ke-07.

7.Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,(Jakarta: LP3ES, 1987),Agustus,Cetakan ke-1.

8.A, Naufal Ramzy, "Masa Depan Islam : Ke Arah Gerakan Kebudayaan", dalam A. Naufal Ramzy (Editor), Islam dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta: Penerbit Deviri Ganan, 1993), Cetakan ke-1.
FUNGSI AL-QUR'AN DALAM PERUBAHAN SOSIAL
MENUJU MASYARAKAT MADANI

Oleh A. Naufal Ramzy

A. Pendahuluan

Mencermati fenomena perkembangan umat Islam dewasa ini terdapat dua hipotesa (kesimpulan sementara) yang justru bertolakbelakang. Di satu sisi, umat Islam sibuk membangun dan merenovasi bangunan masjid secara lebih megah dan juga kian banyak yang menunaikan ibadah haji untuk yang keduakalinya. Namun di sisi lain, sekian banyak umat Islam sibuk menjadi pelaku rentenir, pelaku korupsi, pengadu-domba, pemfitnah dan sekian macam perbuatan maksiat lainnya seperti menipu,berzina dan pengguna narkoba. Dua fenomena ini mencuatkan satu pertanyaan klasik: “Ada something wrong apakah di tengah umat Islam sehingga peradaban mereka semakin terpuruk?”

Hal tersebut berdasar pengamatan oleh pihak internal umat Islam sendiri karena begitu kecewa dan cemasnya melihat fakta-fakta kontradiktif mereka. Akan tetapi di kalangan eksternal umat Islam beredar suatu persepsi bahwa sangatlah sulit memurtadkan umat Islam untuk pindah ke agama lain oleh karena sejak 10 tahun yang lalu tumbuh gairah yang kuat untuk mendirikan lembaga TK Al-Qur'an hingga ke pelosok pedesaan. Penyebaran dirintisnya TK Al-Qur'an memberikan efek domino yang sangat fungsional terhadap kehidupan umat Islam, bahwa sebagai penganut agama Islam tidak sepantasnya mereka tidak mengenal dan tidak memahami kitab suci agamanya dari sejak usia dini.

Oleh karena itu, menyikapi fenomena banyaknya umat Islam yang semakin rajin berbuat maksiat, tidak sepantasnya terlalu pesimistik menatap masa depan peradaban mereka. Sebab sekian banyak anak-anak, putera-puteri mereka, sudah mengenal teks-teks Al-Qur'an sejak mereka berumur 4 tahun. Apalagi di tengah umat Islam kini juga tumbuh gairah merintis TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) setingkat MI / SD dan MTA (Ma’had Tahfidh Al-Qur an) setingkat SMP dan SMU. Misalnya program Tahfidh al-Qur'an yang sejak 10 tahun yang lalu diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura pada tingkat SMP, SMU dan MAK.

Nah, cukupkah kitab suci Al-Qur'an al-Karim hanya dibaca, dihafalkan, dan dipahami maknanya ? Bukankah jika tak diamalkan tentu tidak akan berfungsi maksimal bagi perubahan dan pengembangan kehidupan masyarakat ?

B. Prinsip-prinsip Kandungan Al-Qur'an

Secara bahasa, Kata Al-Qur an berarti bacaan yang sempurna, kitab suci yang sangat lengkap, dan merupakan miniatur “ayat-ayat Allah” yang terhampar dari seluruh fakta Kemahabesaran-Nya yang bersifat mukjizati. Kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Al-Qur'an ini, bukanlah sekedar menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia,namun juga bisa menjadi mitra dialog (teman curhat) dalam menyikapi aneka ragam problematika kehidupan.

Seluruh ayat Al-Qur'an yang berjumlah 6236 ayat, menurut M. Natsir Arsyad (1996: 13),terbagi menjadi lima prinsip kandungan keislaman:

Pertama, aqidah tauhid yang menegaskan bahwa Allah SWT adalah Maha Esa dan tidak ada tuhan apa pun kecuali Dia. Demikian juga, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah rasul dan utusan-Nya yang terakhir. Rukun Iman yang enam juga termasuk dalam prinsip yang pertama ini.

Kedua, syari’at yang terdiri atas ibadah mahdhah (murni) yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, dan ibadah mu’amalah (ibadah sosial) yang mengatur hubungan timbal balik antar sesama manusia, seperti transaksi bisnis, akad nikah,persaksian,termasuk juga hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya dan alam lingkungan ekologis.

Ketiga, akhlak yang mulia, yang menyucikan perilaku dari perbuatan tercela, membersihkan jiwa dari kepamrihan, dan mengajak hati nurani untuk mencapai kebahagiaan di mata Allah.

Keempat, kisah-kisah masa lalu untuk ditarik pelajaran darinya, sebagai peringatan, perbandingan, keteladanan dan perumpamaan yang bernilai sehingga umat manusia bisa lebih bijak (‘arif) merespon setiap problema hidup. Misalnya kisah Nabi Yusuf, Nabi Sulaiman, Nabi Yunus, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Muhammad SAW dan lainnya.

Kelima, berita-berita masa depan dan pasca masa depan serta bentuk-bentuk ilmu pengetahuan modern. Seperti teori kejadian alam semesta, posisi matahari, bumi, proses kehidupan makhluk yang berpasang-pasangan dan lainnya.

Kelima macam prinsip itu disederhanakan lagi menjadi 3 (tiga) pilar (dimensi) doktrinal agama Islam yaitu: Dimensi Aqidah, Dimensi Syari’ah, dan Dimensi Akhlak. Umat Islam diatur untuk mengamalkan ketiga dimensi ini sepanjang hidup, dari mulai bangun tidur hingga tengah malam mau tidur kembali.

Maka jika kembali kepada pertanyaan tadi: “Ada something wrong apakah di tengah umat Islam sehingga peradaban mereka semakin terpuruk?” Jawabannya: Mungkin sebagian besar dari mereka tidak secara simultan mengamalkan ketiga dimensi ajaran Islam tersebut, yakni bermoralitas ganda, kata Sudirman Tebba (1993: 68-75). Mereka telah rajin shalat dan bergelar haji, tetapi dalam berekonomi mereka tega menggunakan cara-cara penipuan dan model yang haram lainnya. Mengapa demikian, karena bisa jadi keislaman mereka hanyalah Islam kultural yang berbasis pada adat-istiadat, bukan Islam yang spiritualistik yang berbasis pada kesadaran teologis (bertauhid) secara pribadi. Mereka berislam secara asesoris yang menempatkan Allah tidak di puncak wawasan berpikirnya. Allah tidak penting bagi mereka. Yang terpenting bagi mereka bagaimana meraih uang yang sebanyak-banyaknya untuk memuaskan naluri hawa nafsu mereka. Tanpa sadar, menurut istilah Kuntowijoyo (1997: 173), mereka telah memegang dan mengamalkan paham (ideologi) materialisme yang hedonistik.

C. Al-Qur'an Sebagai Paradigma Perubahan Sosial

Jika sebagian banyak umat Islam telah tanpa segan lagi mengamalkan paham materialisme, masihkah kondisi semacam itu diperbaiki dan ditemukan solusinya yang terbaik ?

Tentu harus menjawab masih ! Sebab umat Islam masih bermodal besar yang berupa kitab suci Al-Qur'an. Perubahan so- sial umat Islam masih bisa dilakukan secara prospektif apabila mereka mau menyadari tentang pentingnya “Kembali kepada Al-Qur'an”. Dengan sikap ini, otomatis juga akan amat memper- hatikan seluruh sabda, sikap dan tradisi Nabi Muhammad SAW. Dengan Al-Qur'an sebagai basis rujukan perilaku hidup, maka dijamin oleh Allah bahwa mereka akan terangkis dari kegelapan atau kegelisahan hidup yang terus-menerus. Firman-Nya:(Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (Al-Qur an S. Ibrahim : 1).

Dalam petikan ayat di atas terdapat 3 kata kunci yang menentukan perbaikan hidup umat manusia. Pertama, umat manusia pasti membutuhkan “cahaya terang benderang” dalam kehidupannya, dan tidak mungkin mereka menyukai suasana hidup yang “gelap gulita”. Kedua, Al-Qur'an dapat di-efektif-kan dengan cara dibaca, didalami maknanya dan diamalkan ajarannya, agar supaya diperoleh jalan lurus untuk memperoleh hidayah Allah. Ketiga,usaha meng-efektif-kan ajaran Al-Qur an dalam kehidupan sehari-hari juga sangat ditentukan oleh izin (hak prerogatif) dari Allah, yakni pertolongan-Nya, sebab tanpa ini semua sia-sia.

Maka tatkala seseorang mengalami kebangkrutan dalam sistem kehidupannya, baik bangkrut secara finansial maupun secara spiritual, ia tidak sepantasnya lari dari kenyataan dan kemudian “berfatamorgana” dalam bentuk doyan mengkonsumsi miras atau narkoba (sabu-sabu & sejenisnya), maupun menjadi aktivis judi. Ia sebaiknya melakukan langkah-langkah strategis berikut:

Pertama, berkonsultasi (curhat) pada seorang guru (figur) spiritual yang berakhlak luhur / bermoral tinggi di mana segenap perilakunya patut diteladani karena bercorak konsisten antara ucapan dan amal salehnya sehari-hari.

Kedua, memperbaiki kualitas shalat fardhu dan shalat sunnahnya. Sebab dengan shalat yang bermutu maka seseorang dapat terhindar dari perbuatan jahat (jahat pada diri sendiri atau para orang lain), yang menurut Hamka (1982: 71-80) adalah ibadah shalat yang ikhlas sepenuh hati.

Ketiga, membaca Al-Qur an secara rutin (istiqamah) setiap hari, dan usahakan dipahami dengan maknanya. Sebab jika setiap umat Islam bertemu dengan sederetan redaksi ayat Al-Qur'an maka sesungguhnya mereka bertemu dengan Allah melalui ungkapan firman-Nya. Jika ungkapan ayat Al-Qur'an itu melintas atau diam sejenak di dalam hati nurani dan akal pikiran mereka, Insya Allah akan muncul rasa malu dan rasa berhutang budi kepada Allah atas segala nikmat-nikmat-Nya yang selalu mereka terima dan rasakan setiap waktu. Artinya,andaikan bukan karena pertolongan dan rahmat Allah, tadi malam ketika mereka berangkat tidur, pagi harinya mereka tidak akan bangun kembali yakni tidur selamanya (wafat). Nah, semakin kuat rasa berhutang budi kepada Allah terpatri di dalam jiwa dan wawasan berpikir umat Islam, maka akan kian menguat pula kualitas spiritualistik mereka, sehingga mereka akan rajin beramal shaleh, baik yang personal atau sosial.

Keempat, menambah dan memperluas wawasan berpikir dengan rajin membaca buku ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum. Aktif di bidang pendidikan akan membantu prosesnya hal yang satu ini, baik posisinya sebagai guru / pendidik maupun sebagai pelajar / mahasiswa. Semakin luas wawasan berpikir umat Islam, maka akan semakin mampu berdialog dengan Al-Qur'an, sebab -kata Umar Shihab (1990: 79), salah satu karakter Al-Qur'an adalah siap berdialog dengan seluruh umat manusia, seperti yang tertuang dalam ayat ini:”Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Al-Qur'an S. Shaad: 29).

D. Menuju Terbentuknya Masyarakat Madani

Masyarakat madani -kata M. Dawam Rahardjo (1999: 282)- adalah masyarakat yang penuh kedamaian karena di dalam sistem sosio-kultur-politik-nya telah terbingkai suatu keadilan sosial,kesederajatan, kebebasan berpikir, demokratisasi dan perlindungan HAM. Mungkinkah umat Islam membangun masyarakat madani dalam zaman yang kian kompetitif dan modern ini ? Tentu perlu dijawab: Mungkin dan bisa !

Kunci ke arah sana sederhana, yaitu perubahan sosial yang komprehensif. Dalam arti lain, perubahan yang digerakkan oleh animo kerja keras dan konstan berdoa kepada Allah SWT. Sedangkan kerja keras membutuhkan kecerdasan berpikir dalam mengambil kebijakan publik / personal. Sementara kecer-dasan berpikir mensyaratkan dimilikinya software metodologi berpikir agar supaya valid dalam mengambil kesimpulan.

Karena itu, umat Islam harus memahami secara filosofis firman Allah SWT berikut ini (Al-Qur'an S.Al-Ra’du : 11): “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah [Malaikat Hafadhah]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan [situasi yang mundur terpuruk] yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

(*) Makalah ini telah didiskusikan dalam Forum LKIM (Lembaga Kajian Islam Mujahidin) di rumah Bapak Drs. Moh. Yusuf Suhartono (Kadis Diknas Pemda Kabupaten Pamekasan Madura), Pamekasan, Senin, 18 Jumadilawal 1428 / 04 Juni 2007,Pukul 19.00 - selesai.

Referensi Makalah :

1.M. Natsir Arsyad, Seputar Al-Quran Hadis & Ilmu (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1996), Cet. ke-4.

2.Dewan Penterjemah/Pentafsiran Al-Qur an, Al-Qur an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1989).

3.Sudirman Tebba, “Moralitas Ganda Umat dan Pemikiran Islam”, dalam A.Naufal Ramzy (Editor), Islam dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta: Deviri Ganan, 1993), Cet. ke-1.

4.Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), Cet. ke-2.

5.Hamka, Iman dan Amal Shaleh (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Cet. ke-1.

6.H. Umar Shihab, Al-Qur an dan Rekayasa Sosial (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), Cet. ke-1.

7.M. Dawam Rahardjo, “Pembangunan Orde Baru dan Masyarakat Madani”, dalam TIM Maula (Editor), Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. ke-1.

Rabu, Oktober 03, 2007

Politik Kader

PROSPEK POLITIK REFORMATIF INDONESIA:
DARI KADER MENJADI TOKOH

Oleh A. Naufal Ramzy


I. Pendahuluan

Tatkala bangsa Indonesia mengalami pergantian rezim pemerintahan pada 21 Mei 1998, dari rezim Orde Baru ke rezim Orde Reformasi, terlalu banyak harapan-harapan idealistik yang dicanangkan oleh bangsa ini. Sepertinya bangsa ini akan keluar dari sekeranjang problematika politik dan ketidak-adilan ekonomi menuju gerbang baru bertitel “negeri yang adil dan makmur”.
Tetapi apa yang terjadi ? Kebebasan yang diperoleh sebagai “hasil” pergantian rezim diberi interpretasi bermacam- macam dan amat diprioritaskan ketimbang memperbaiki kondisi ekonomi rakyat banyak yang bergelimang kemiskinan. Aneka interpretasi atas term kebebasan itu sampai berubah menjadi polusi baru (kata Harry Roesli). Seloroh Harry Roesli (2005 : 52, 53) begini:

“Apa yang dilakukan oleh parlemen juga sebuah polusi dari kebebasan. Yaitu, mereka dengan sangat bebas berlindung di balik nama rakyat dan dengan sebebas-bebasnya meng-atas-namakan rakyat, untuk pembenaran menjadi kaum otoriter baru. Benar-benar bebas dan bebas.” “Dan apakah rakyat juga merasakan kebebasan ini ? O, ya, pasti ! Paling tidak, rakyat terbebas dari perhatian Gus Dur dan parlemen (yang notabene wajib mengurusnya). Keterbe-basan yang satu ini dalam bahasa ilmiahnya ialah..... dicuekin !! Atau tepatnya, Gus Dur dan parlemen bebas untuk mencuekin rakyat!” “Mungkin republik ini sudah menjadi Republik Cuek, alias Republik Funky !! Setelah sempat di zaman Soeharto berganti nama menjadi Republik Daripada Indonesia.”

Mengapa kondisi semacam itu terjadi ? Salah satu sebabnya, kata Harry Roesli, karena menjadi anggota legislatif tidak dipandang sebagai jabatan politik mewakili rakyat, namun dipahami sebagai jabatan profesional alias mencari penghasilan. Karenanya, kata Harry Roesli (2005: 219), nama DPR / DPRD itu mestinya dirubah menjadi PT/CV DPR atau PT/CV DPRD.

Nah, jika pada tahun 2007 ini bangsa Indonesia masih mempunyai sekian banyak tipe anggota legislatif semacam itu, yang diantaranya juga karena mereka “kader jenggot” alias hanya mengakar ke atas (elite pimpinan partai), yakni tidak mengakar ke bawah (rakyat yang mesti diwakilinya), maka letak “something wrong”-nya diduga kuat adalah berpusat pada soal ideologi partai dan para elite pimpinannya. Mestinya, kata Umaruddin Masdar (1999: 29),ideologi itu dipahami sebagai seperangkat konsep gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dipandang paling baik.Dalam perspektif itu, betapa amat urgen adanya partai politik yang visi-misinya berkonotasi ideologis semacam itu, dan tentu juga dipimpin oleh para elite yang ber-akhlaqul karimah.

II. Konsep Kaderisasi Partai Politik

Term kaderisasi sangat dekat dengan makna pembibitan calon seorang pemimpin (tokoh). Namun kaderisasi di dalam organisasi massa tentu sangat berbeda dengan kaderisasi di dalam partai politik. Hal ini karena sering dipengaruhi oleh performance kelembagaannya, apakah masih bercorak paguyuban atau bercorak patembayan. Organisasi massa yang bercorak paguyuban biasanya dikelola oleh seorang pemimpin yang kharismatik yang berbasis pada faktor “darah biru” (keturunan). Memang ada organisasi massa yang bercorak patembayan, tetapi masih sangat sedikit. Adapun partai politik yang bercorak patembayan selalu diketuai oleh pemimpin yang intelektual-demokratis (legal-rasional) yang berbasis pada faktor kualitas SDM-nya, baik dari aspek akhlaqul karimah maupun aspek intelektualnya. Jika ternyata ada partai politik yang cenderung bercorak paguyuban, maka diduga kuat di dalamnya selalu terjadi konflik yang akut.

Konsep kaderisasi partai politik yang hendak ditawarkan dalam makalah ini adalah konsep yang mengidealisasikan corak kepemimpinan yang intelektual-demokratis (legal-rasional). Corak kepemimpinan semacam ini yang dibutuhkan oleh masa depan bangsa Indonesia, yang tentu proses pentradisiannya mestinya dimulai dari sejak memasuki zaman reformasi kemarin. Atas hal ini Kuntowijoyo (1997: 187) berpendapat:“Kepemimpinan kharismatik itu tidak baik untuk masa depan Indonesia. Mestinya kita meninggalkan kepemimpinan kharismatik menuju ke kepemimpinan legal-rasional, kepemim- pinan rasional yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan wibawa perorangan. Kita tidak boleh memberi jawaban masa lalu untuk persoalan masa kini. Kepemimpinan politik kharismatik itu ketinggalan zaman, tidak stabil untuk jangka panjang.”

Konsep kaderisasi yang dimaksud di atas mengacu kepada tiga prinsip pembinaan, yaitu: Pembinaan kapasitas keilmuan, pembinaan mentalitas keberislaman, dan pembinaan kreativitas amal saleh sosial.

A. Pembinaan Kapasitas Keilmuan

Pembinaan kapasitas keilmuan terhadap kader-kader partai politik mencakup pemberdayaan akal pikir dan akal budi mereka dalam memahami beberapa teori atau konsep penting yang mesti dijadikan nilai dasar perjuangan, yaitu:

Pertama, bahwa beraktivitas di sektor politik adalah bagian dari jihad fi sabilillah atau kerja keras untuk menegak- kan nilai-nilai atau ajaran agama Islam di muka bumi. Term jihad yang di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 41 kali dengan berbagai bentuknya, menurut M. Quraish Shihab (1996: 501), terambil dari kata jahd yang berarti letih atau sukar dan dari kata juhd yang berarti kemampuan. Karenanya term jihad identik dengan kegiatan yang meletihkan tetapi disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Makna jihad di sini bisa dikonfirmasikan pada Al-Qur’an S. Ali ‘Imran: 142 yang artinya : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar”.

Dengan kesadaran semacam itu harus pula diyakini bahwa siapa pun umat Islam, apalagi kader partai, yang berjihad di jalan Allah (mematuhi Al-Qur’an dan As-Sunnah) maka Allah akan selalu memberikan petunjuk kepadanya. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an S. Al-Ankabut: 69 yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Betapa urgennya berjihad ! Tentu, berjihad di sektor politik juga dapat mempermutu ketakwaan seorang muslim. Soal ini dapat disimak dalam Al-Qur’an S. Al-Maidah: 35 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Kedua, bahwa beraktivitas di sektor politik adalah dalam rangka memperjuangkan terbentuknya pemerintahan yang baik. Apakah itu ? Pemerintahan yang baik, kata Umaruddin Masdar (1999: 134), ialah sekumpulan prinsip dan gagasan tentang keabsahan (legiti- masi), kewenangan (kompetensi) dan pertanggungjawaban (accountability) dari pemerintah, tentang penghormatan terhadap kewibawaan (supremasi) hukum dan perangkatnya dan hak asasi manusia, serta berbagai hal lainnya yang diharapkan oleh rakyat dari pemerintah yang melayani kepentingan khalayak.

Ketiga, bahwa beraktivitas di sektor politik sangat membutuhkan etos belajar atau semangat membaca yang tinggi, agar supaya tidak tertinggal dalam mengakses informasi baru perihal poleksosbudhankam atau supaya tidak telmi (telat mikir) dalam memahami teori-teori baru keilmuan.

B. Pembinaan Mentalitas Keberislaman

Pembinaan mentalitas keberislaman buat kader-kader partai adalah pembiasaan ber-akhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus menghindari segala sikap dan perbuatan yang melanggar ajaran agama Islam atau melanggar hukum-hukum positif nasional. Hal ini meliputi :

Pertama, meneladani seluruh sifat akhlaqul karimah Rasulullah SAW, minimal mencerna dan meniru 4 sifat beliau yaitu shidiq, amanah, tabligh, fathanah. Beliau sangat terkenal sebagai pemimpin yang membangkitkan harga diri rakyat kecil (dhu’afa) dan kaum fakir miskin. Beliau pun amat perduli membela kaum yang tertindas (mustadh’afin). Hal ini beliau buktikan dalam sepanjang kehidupannya yang penuh dengan pola hidup sangat bersahaja dan sangat dekat dengan orang-orang miskin.
Tentang kebersahajaan Rasulullah SAW bisa disimak dalam tulisan Jalaluddin Rakhmat (1995: 83) berikut: “Ia tidur di atas tikar kasar yang dianyamnya dengan tangan sendiri, dan sering tampak pada pipinya bekas-bekas tikar itu. Umar (bin Khathab) pernah meneteskan airmata karena terharu melihat rumah Rasulullah hanya dilengkapi dengan ghariba (wadah air dari kulit) dan roti yang sudah menghitam. Ia memilih hidup sederhana, bukan karena ia mengharamkan yang halal, melainkan karena ingin merasa dekat dengan mereka yang paling miskin. Dia, sebagai pemimpin, tak ingin membuat jarak dengan mereka.”

Kedua, membiasakan diri menggunakan suara hati nurani dalam meresponsi masalah-masalah rakyat. Sebab yang harus dipatuhi bukan hanya hukum-hukum positif formal yang tertulis, tetapi juga “hukum-hukum” kebaikan yang berbasis pada kebenaran versi hati nurani.

C. Pembinaan Kreativitas Amal Saleh Sosial

Pembinaan yang terakhir ini identik dengan kerja nyata dalam berjuang membela rakyat yang dirugikan oleh sistem sosial budaya ekonomi yang dilaksanakan oleh negara. Misalnya, kemiskinan struktural yang mulai melebar memasuki kawasan pedesaan semestinya diprioritaskan untuk dibela dan dientaskan. Contoh, ketidakberdayaan para petani tembakau di Madura untuk menentukan harga jualnya tatkala berhadapan dengan kepentingan pabrik rokok, seharusnya mereka diadvokasi oleh para anggota DPRD, bukan dibiarkan mereka selalu diperlemah oleh pihak pabrik.Contoh yang lain, mengapa kreativitas aparat Pemda dan DPRD Sumenep dalam hal pemberdayaan zakat mal dan pembentukan BAZ tingkat kabupaten selalu sulit dilakukan dan disepakati oleh para elite pemimpin kawasan ini, termasuk sulit didukung penuh oleh para kyai ? Mengapa kalau BAZ di kabupaten Pamekasan bisa dan cukup sukses sehingga nilainya kini mendekati angka 1 miliyar ? Mengapa? Jawabannya tidak terlalu sulit ditemukan walau hanya masih bercorak hipotetif. Begitu kira-kira dan mohon ma’af ! Wallahu A’lam bi al-Shawab.

(*) Penulis adalah Pengamat Freelance. Makalah ini telah didiskusikan dalam Acara Madrasah Politik Ramadhan 1428 di Sekretariat DPD PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Kab.Sumenep pada Ahad Pon, 18 Ramadhan 1428 H / 30 September 2007 M.

Referensi :
1. Harry Roesli, Republik Funky: Asal Usul Harry Roesli (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2005), Cetakan ke-1.
2. Umaruddin Masdar, Dkk., Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik
(Yogyakarta: LKIS, 1999), Cetakan ke-1.
3. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), Cetakan ke-2.
4. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-3.
5. Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan,
1995), Cetakan ke-7.

Politik Kader

PROSPEK POLITIK REFORMATIF INDONESIA:
DARI KADER MENJADI TOKOH

Oleh A. Naufal Ramzy


I. Pendahuluan

Tatkala bangsa Indonesia mengalami pergantian rezim pemerintahan pada 21 Mei 1998, dari rezim Orde Baru ke rezim Orde Reformasi, terlalu banyak harapan-harapan idealistik yang dicanangkan oleh bangsa ini. Sepertinya bangsa ini akan keluar dari sekeranjang problematika politik dan ketidak-adilan ekonomi menuju gerbang baru bertitel “negeri yang adil dan makmur”.
Tetapi apa yang terjadi ? Kebebasan yang diperoleh sebagai “hasil” pergantian rezim diberi interpretasi bermacam- macam dan amat diprioritaskan ketimbang memperbaiki kondisi ekonomi rakyat banyak yang bergelimang kemiskinan. Aneka interpretasi atas term kebebasan itu sampai berubah menjadi polusi baru (kata Harry Roesli). Seloroh Harry Roesli (2005 : 52, 53) begini:

“Apa yang dilakukan oleh parlemen juga sebuah polusi dari kebebasan. Yaitu, mereka dengan sangat bebas berlindung di balik nama rakyat dan dengan sebebas-bebasnya meng-atas-namakan rakyat, untuk pembenaran menjadi kaum otoriter baru. Benar-benar bebas dan bebas.” “Dan apakah rakyat juga merasakan kebebasan ini ? O, ya, pasti ! Paling tidak, rakyat terbebas dari perhatian Gus Dur dan parlemen (yang notabene wajib mengurusnya). Keterbe-basan yang satu ini dalam bahasa ilmiahnya ialah..... dicuekin !! Atau tepatnya, Gus Dur dan parlemen bebas untuk mencuekin rakyat!” “Mungkin republik ini sudah menjadi Republik Cuek, alias Republik Funky !! Setelah sempat di zaman Soeharto berganti nama menjadi Republik Daripada Indonesia.”

Mengapa kondisi semacam itu terjadi ? Salah satu sebabnya, kata Harry Roesli, karena menjadi anggota legislatif tidak dipandang sebagai jabatan politik mewakili rakyat, namun dipahami sebagai jabatan profesional alias mencari penghasilan. Karenanya, kata Harry Roesli (2005: 219), nama DPR / DPRD itu mestinya dirubah menjadi PT/CV DPR atau PT/CV DPRD.

Nah, jika pada tahun 2007 ini bangsa Indonesia masih mempunyai sekian banyak tipe anggota legislatif semacam itu, yang diantaranya juga karena mereka “kader jenggot” alias hanya mengakar ke atas (elite pimpinan partai), yakni tidak mengakar ke bawah (rakyat yang mesti diwakilinya), maka letak “something wrong”-nya diduga kuat adalah berpusat pada soal ideologi partai dan para elite pimpinannya. Mestinya, kata Umaruddin Masdar (1999: 29),ideologi itu dipahami sebagai seperangkat konsep gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dipandang paling baik.Dalam perspektif itu, betapa amat urgen adanya partai politik yang visi-misinya berkonotasi ideologis semacam itu, dan tentu juga dipimpin oleh para elite yang ber-akhlaqul karimah.

II. Konsep Kaderisasi Partai Politik

Term kaderisasi sangat dekat dengan makna pembibitan calon seorang pemimpin (tokoh). Namun kaderisasi di dalam organisasi massa tentu sangat berbeda dengan kaderisasi di dalam partai politik. Hal ini karena sering dipengaruhi oleh performance kelembagaannya, apakah masih bercorak paguyuban atau bercorak patembayan. Organisasi massa yang bercorak paguyuban biasanya dikelola oleh seorang pemimpin yang kharismatik yang berbasis pada faktor “darah biru” (keturunan). Memang ada organisasi massa yang bercorak patembayan, tetapi masih sangat sedikit. Adapun partai politik yang bercorak patembayan selalu diketuai oleh pemimpin yang intelektual-demokratis (legal-rasional) yang berbasis pada faktor kualitas SDM-nya, baik dari aspek akhlaqul karimah maupun aspek intelektualnya. Jika ternyata ada partai politik yang cenderung bercorak paguyuban, maka diduga kuat di dalamnya selalu terjadi konflik yang akut.

Konsep kaderisasi partai politik yang hendak ditawarkan dalam makalah ini adalah konsep yang mengidealisasikan corak kepemimpinan yang intelektual-demokratis (legal-rasional). Corak kepemimpinan semacam ini yang dibutuhkan oleh masa depan bangsa Indonesia, yang tentu proses pentradisiannya mestinya dimulai dari sejak memasuki zaman reformasi kemarin. Atas hal ini Kuntowijoyo (1997: 187) berpendapat:“Kepemimpinan kharismatik itu tidak baik untuk masa depan Indonesia. Mestinya kita meninggalkan kepemimpinan kharismatik menuju ke kepemimpinan legal-rasional, kepemim- pinan rasional yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan wibawa perorangan. Kita tidak boleh memberi jawaban masa lalu untuk persoalan masa kini. Kepemimpinan politik kharismatik itu ketinggalan zaman, tidak stabil untuk jangka panjang.”

Konsep kaderisasi yang dimaksud di atas mengacu kepada tiga prinsip pembinaan, yaitu: Pembinaan kapasitas keilmuan, pembinaan mentalitas keberislaman, dan pembinaan kreativitas amal saleh sosial.

A. Pembinaan Kapasitas Keilmuan

Pembinaan kapasitas keilmuan terhadap kader-kader partai politik mencakup pemberdayaan akal pikir dan akal budi mereka dalam memahami beberapa teori atau konsep penting yang mesti dijadikan nilai dasar perjuangan, yaitu:

Pertama, bahwa beraktivitas di sektor politik adalah bagian dari jihad fi sabilillah atau kerja keras untuk menegak- kan nilai-nilai atau ajaran agama Islam di muka bumi. Term jihad yang di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 41 kali dengan berbagai bentuknya, menurut M. Quraish Shihab (1996: 501), terambil dari kata jahd yang berarti letih atau sukar dan dari kata juhd yang berarti kemampuan. Karenanya term jihad identik dengan kegiatan yang meletihkan tetapi disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Makna jihad di sini bisa dikonfirmasikan pada Al-Qur’an S. Ali ‘Imran: 142 yang artinya : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar”.

Dengan kesadaran semacam itu harus pula diyakini bahwa siapa pun umat Islam, apalagi kader partai, yang berjihad di jalan Allah (mematuhi Al-Qur’an dan As-Sunnah) maka Allah akan selalu memberikan petunjuk kepadanya. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an S. Al-Ankabut: 69 yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Betapa urgennya berjihad ! Tentu, berjihad di sektor politik juga dapat mempermutu ketakwaan seorang muslim. Soal ini dapat disimak dalam Al-Qur’an S. Al-Maidah: 35 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Kedua, bahwa beraktivitas di sektor politik adalah dalam rangka memperjuangkan terbentuknya pemerintahan yang baik. Apakah itu ? Pemerintahan yang baik, kata Umaruddin Masdar (1999: 134), ialah sekumpulan prinsip dan gagasan tentang keabsahan (legiti- masi), kewenangan (kompetensi) dan pertanggungjawaban (accountability) dari pemerintah, tentang penghormatan terhadap kewibawaan (supremasi) hukum dan perangkatnya dan hak asasi manusia, serta berbagai hal lainnya yang diharapkan oleh rakyat dari pemerintah yang melayani kepentingan khalayak.

Ketiga, bahwa beraktivitas di sektor politik sangat membutuhkan etos belajar atau semangat membaca yang tinggi, agar supaya tidak tertinggal dalam mengakses informasi baru perihal poleksosbudhankam atau supaya tidak telmi (telat mikir) dalam memahami teori-teori baru keilmuan.

B. Pembinaan Mentalitas Keberislaman

Pembinaan mentalitas keberislaman buat kader-kader partai adalah pembiasaan ber-akhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus menghindari segala sikap dan perbuatan yang melanggar ajaran agama Islam atau melanggar hukum-hukum positif nasional. Hal ini meliputi :

Pertama, meneladani seluruh sifat akhlaqul karimah Rasulullah SAW, minimal mencerna dan meniru 4 sifat beliau yaitu shidiq, amanah, tabligh, fathanah. Beliau sangat terkenal sebagai pemimpin yang membangkitkan harga diri rakyat kecil (dhu’afa) dan kaum fakir miskin. Beliau pun amat perduli membela kaum yang tertindas (mustadh’afin). Hal ini beliau buktikan dalam sepanjang kehidupannya yang penuh dengan pola hidup sangat bersahaja dan sangat dekat dengan orang-orang miskin.
Tentang kebersahajaan Rasulullah SAW bisa disimak dalam tulisan Jalaluddin Rakhmat (1995: 83) berikut: “Ia tidur di atas tikar kasar yang dianyamnya dengan tangan sendiri, dan sering tampak pada pipinya bekas-bekas tikar itu. Umar (bin Khathab) pernah meneteskan airmata karena terharu melihat rumah Rasulullah hanya dilengkapi dengan ghariba (wadah air dari kulit) dan roti yang sudah menghitam. Ia memilih hidup sederhana, bukan karena ia mengharamkan yang halal, melainkan karena ingin merasa dekat dengan mereka yang paling miskin. Dia, sebagai pemimpin, tak ingin membuat jarak dengan mereka.”

Kedua, membiasakan diri menggunakan suara hati nurani dalam meresponsi masalah-masalah rakyat. Sebab yang harus dipatuhi bukan hanya hukum-hukum positif formal yang tertulis, tetapi juga “hukum-hukum” kebaikan yang berbasis pada kebenaran versi hati nurani.

C. Pembinaan Kreativitas Amal Saleh Sosial

Pembinaan yang terakhir ini identik dengan kerja nyata dalam berjuang membela rakyat yang dirugikan oleh sistem sosial budaya ekonomi yang dilaksanakan oleh negara. Misalnya, kemiskinan struktural yang mulai melebar memasuki kawasan pedesaan semestinya diprioritaskan untuk dibela dan dientaskan. Contoh, ketidakberdayaan para petani tembakau di Madura untuk menentukan harga jualnya tatkala berhadapan dengan kepentingan pabrik rokok, seharusnya mereka diadvokasi oleh para anggota DPRD, bukan dibiarkan mereka selalu diperlemah oleh pihak pabrik.Contoh yang lain, mengapa kreativitas aparat Pemda dan DPRD Sumenep dalam hal pemberdayaan zakat mal dan pembentukan BAZ tingkat kabupaten selalu sulit dilakukan dan disepakati oleh para elite pemimpin kawasan ini, termasuk sulit didukung penuh oleh para kyai ? Mengapa kalau BAZ di kabupaten Pamekasan bisa dan cukup sukses sehingga nilainya kini mendekati angka 1 miliyar ? Mengapa? Jawabannya tidak terlalu sulit ditemukan walau hanya masih bercorak hipotetif. Begitu kira-kira dan mohon ma’af ! Wallahu A’lam bi al-Shawab.

(*) Penulis adalah Pengamat Freelance. Makalah ini telah didiskusikan dalam Acara Madrasah Politik Ramadhan 1428 di Sekretariat DPD PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Kab.Sumenep pada Ahad Pon, 18 Ramadhan 1428 H / 30 September 2007 M.

Referensi :
1. Harry Roesli, Republik Funky: Asal Usul Harry Roesli (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2005), Cetakan ke-1.
2. Umaruddin Masdar, Dkk., Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik
(Yogyakarta: LKIS, 1999), Cetakan ke-1.
3. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), Cetakan ke-2.
4. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-3.
5. Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan,
1995), Cetakan ke-7.

Jumat, September 28, 2007

Teologi Pendidikan Pesantren

REKONSTRUKSI TEOLOGI PENDIDIKAN PESANTREN :
SEBUAH PENCARIAN IDENTITAS YANG FUTURISTIK
Oleh A. Naufal Ramzy

Akhir-akhir ini dalam skala makro, perkembangan dan fenomena sosial budaya apa pun oleh para pengamat dikomentari dari aspek teologi, apakah itu teologi pembebasan, teologi pembangunan atau teologi transformatif. Komentar-komentar secara teologis seperti ini pada hakekatnya menginginkan penelusuran paradigmatis tentang skala-skala makro itu. Sebab tidaklah mungkin suatu miliue sosial budaya tertentu mengemuka secara faktual dan mengimplikasikan corak mentalitas massif tanpa dilatarbelakangi oleh sebuah paradigma (bisa secara ideologis) yang menggerakkan motivasi-motivasi primer, sekunder dan tersier.
Misalnya, paradigma teologi transformatif yang dilontarkan oleh Moeslim Abdurrahman adalah dimaksudkan sebagai respon alternatif terhadap distorsi-distorsi yang diakibatkan oleh penerapan paradigma modernisasi. Pembangunan yang menganut paradigma ini mengedepankan proses penggunaan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) demi keuntungan finansial yang optimal kendati pun harus mereduksi nilai-nilai martabat manusia yang notabene-nya justru sebagai pelaksana langsung IPTEK itu. Dalam hal ini, menurut Kuntowijoyo, fungsi IPTEK yang modern telah berubah menjadi alat kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan kepada massa yang menjadi buruhnya.
Maka alternatif dalam bentuk paradigma teologi transformatif hendak menempatkan nilai-nilai martabat manusia pada posisi yang terhormat dan proporsional. Pertama, menekankan dimensi keadilan dalam setiap proses perubahan sosial. Kedua, memperkuat visi-visi sosial yang emansipatoris dalam dinamika budaya. Ketiga, memperkukuh artikulasi pesan-pesan ajaran agama dalam kerangka moral dan etika. Keempat, menghadirkan dialog-dialog yang interaktif antara premis-premis teks keagamaan dan konteks sosial budaya. Kelima, otoritas perubahan sosialnya berbasis pada kepentingan seluruh komponen masyarakat. Keenam, berorientasi pada realisasi gagasan yang berdampak strategis dalam setiap ruangan kebebasan aktivitas masyarakat. Ketujuh, memfasilitasi penyaluran aspirasi dan kritik konstruktif dalam berhadapan dengan supra-struktur (pemerintah atau negara), sehingga kedaulatan masyarakat benar-benar termanifestasi secara independen.
Lalu bagaimanakah performance teologi pendidikan pesantren, khususnya pondok pesantren salaf, sehingga untuk menegaskan identitasnya yang futuristik perlu dilakukannya rekonstruksi tertentu ? Bukankah penampilannya yang berlangsung hingga saat ini ternyata tetap menunjukkan kemampuannya dalam ber-survival ?
Untuk melacak corak teologi pendidikan pesantren bisa lewat penelusuran tradisi-tradisi yang dominan yang berkelindan di dalamnya. Menurut Mastuhu, corak itu ditunjukkan dalam bentuk: Pertama, pengajaran kitab-kitab kuning yang lebih banyak bertemakan penggabungan ilmu fiqih dengan amalan-amalan akhlaq sufistik (tasawuf). Kitab-kitab ini secara total beraliran madzhab Syafi’ie di bidang fiqih dan beraliran Al-Ghazali di bidang ilmu tasawuf. Misalnya, Bidayatul Hidayah, Ihya’ Ulumiddin, Minhajul ’Abidin, Fathul Mu‘ien, Fathul Wahhab, I’anatuth-Tholibin, Kifayatul Akhyar, Ta’lim Muta’allim, dan lain sebagainya. Sementara kitab fiqih yang mengkaji masalah-masalah secara lintas madzhab seperti Fiqhus-Sunnah karangan Sayyid Sabiq belum diperbolehkan di dalam lembaga ini. Sedangkan kitab ushul fiqihnya –seperti Al-Luma’- adalah kitab yang tidak mentolerir paradigma-paradigma pemikiran Mu’tazilah atau lainnya yang mengedepankan potensi rasio. Kedua, metode pemberian ilmu dalam proses belajar-mengajar lebih banyak menekankan penguasaan dan pengayaan materi pelajaran daripada metodologi berpikir keilmuan. Meskipun di pesantren juga diajarkan ilmu mantiq (logika dasar), tetapi sifatnya sekedar mekanis dan tidak mendorong berkembangnya pemikiran rasional. Padahal salah satu cara mempercerdas anak didik (santri) dalam berlatih berpikir ilmiah adalah melalui penguasaan ilmu ini. Ini sebetulnya kontradiktif dengan sikap ulama panutannya, yaitu Al-Ghazali, di mana ia tetap menghargai ilmu mantiq dengan membuat pernyataan bahwa orang yang tidak tahu mantiq hujjah-nya (argumentasi) tidak dapat diterima (tidak ilmiah). Ketiga, hirarki kepemimpinan pesantren lebih bercorak paternalistik. Kyai adalah figur sentral yang memiliki hak veto dalam setiap pengambilan keputusan yang strategis. Sedangkan estafeta regenerasinya lebih menganut sistem urut-kacang berdasarkan senioritas anak-cucu keturunannya, bukan berdasarkan kualitas keilmuan para ustadz, pengurus dan anak-cucu keturunannya. Dalam hal ini, ada faktor yang ikut menentukan suksesnya seseorang belajar di pesantren, yaitu menghormati dan memuliakan Kyai, anak-cucunya dan para ustadz, sekaligus menjauhi perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka tidak senang atau tersinggung perasaannya. Begitulah apa yang diteorikan oleh pengarang kitab Ta’lim Muta’allim, Az-Zarnuji.
Ketiga macam corak tradisi itulah yang sangat dominan mencitrakan performance pendidikan pesantren, dan itu pula yang merupakan komponen basis wawasan paradigmatis-teologis-nya. Seperti telah diketahui, Al-Ghazali sang penganut teologi Asy’ariyah adalah ulama panutan sistem pendidikan pesantren, sehingga ketiga macam corak tradisi itu memperoleh justifikasi teologis dari penganutan atas pemikiran sufistik Al-Ghazali, dan implikasinya adalah betapa kuatnya image pengaruh teologi Asy’ariyah di dalam lembaga pendidikan ini. Kata Mastuhu; Paham Asy’ariyah ini yang masuk dan mendominasi kehidupan pesantren, bahkan hampir seluruh ummat Islam Indonesia mengikuti teologi Asy’ariyah.”
Dalam setiap literatur ilmu teologi disebutkan bahwa ada dua aliran teologi yang sama-sama ekstrem pemikirannya, yaitu teologi yang beraliran Qadariyah dan yang beraliran Jabariyah. Aliran Qadariyah yang mengagungkan kemampuan akal pikir (rasio) dan aliran Jabariyah yang mengeleminir peranan dan fungsi strategis akal pikir (rasio), oleh kalangan penganut teologi Asy’ariyah harus disikapi dengan alternatif jalan tengah, yaitu pandangan bahwa Allah SWT tetap memiliki otoritas prerogatif dalam menentukan nasib seseorang, sekaligus menghargai potensi akal pikir (rasio) sebatas dalam koridor ber-ikhtiyar (berusaha yang gigih). Dalam perspektif teoritis, teologi Asy’ariyah sebetulnya cukup ilmiah dalam usaha menghindarkan ummat dari berbuat kultus terhadap akal pikir (rasionalisme) sekaligus bisa memposisikan Allah SWT secara mulia dan berotoritas tinggi. Dalam kitabnya Jawharut Tawhid, Ibrahim Al-Laqqani menegaskan format teologi Asy’ariyah dalam kalimat :
“Keberuntungan orang yang bahagia sudah ada pada-Nya di zaman azali, demikian pula orang yang sengsara, dan tidak berubah lagi.”
“Bagi kita (kaum Asy’ari) hamba (manusia) dibebani kasb (usaha), namun usaha itu tidak akan mempunyai dampak, ketahuilah !”
“Jadi manusia tidaklah terpaksa (tanpa daya) tapi juga tidak bebas, juga tidaklah masing-masing berbuat atas pilihannya. Bila Dia (Allah) memberi kita pahala ( kebahagiaan), maka hal itu adalah semata-mata karena kemurahan (fadhl)-Nya. Dan bila Dia menyiksa (kita), maka hal itu adalah semata-mata karena keadilan-Nya.”
Teologi Asy’ariyah dirintis oleh Abu Hasan Al-Asy’ari. Ia lahir di kota Basra pada tahun 873 M dan wafat pada 935 M (usia 62 tahun). Di masa mudanya ia berguru pada seorang tokoh (teolog) Mu’tazilah yang amat terkenal bernama Al-Jubba’i. Tetapi tatkala memasuki usia 40 tahun, ia berbalik mengkritik tajam prinsip-prinsip ajaran gurunya itu. Lalu ia pergi ke Basra dan menyatakan pada publik dalam bentuk statement berikut ini :
“ Wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh ia telah mengenalku. Barang siapa yang tidak mengenal aku, maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah Fulan bin Fulan (maksudnya Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari). Dulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak bisa dilihat dengan mata, bahwa perbuatan-perbuatan tertentu aku sendiri yang melakukannya, kini aku bertobat, menjauhkan diri dan menentang paham-paham Mu’tazilah. Saya keluar dari paham ini.”
Jika menilik apa yang tersirat dari statement Abu Hasan Al-Asy’ari di atas, maka tampaklah bahwa teologi Asy’ariyah nyaris sebagai kelanjutan aliran paham Jabariyah yang memandang manusia tidak merdeka dan mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Paham ini disebut juga dengan istilah fatalism atau predestination. Dalam perspektif ini manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Ia pun tidak mempunyai daya, kemauan dan pilihan. Ia senantiasa berbuat secara terpaksa. Apa itu perbuatan yang berpahala atau yang mengundang siksaan, semuanya adalah paksaan. Kalau demikian, maka suatu kewajiban juga paksaan (jabr).
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan, teologi Asy’ariyah memakai istilah kasb (perolehan). Kasb (perbuatan) manusia adalah ciptaan Allah SWT. Pendapat ini didasarkan pada pemahaman terhadap Al-Qur’an S. Ash-Shaffat : 96 yang terjemahannya berbunyi : “Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.”
Penggunaan ayat 96 ini, sebagai argumentasi, menurut Jalaluddin Rahman, terasa kurang tepat. Sebab kalau memperhatikan rangkaian ayat itu dengan ayat di sebelumnya justru fokusnya adalah pembicaraan tentang berhala yang disembah selain Allah. Allah yang telah menciptakan manusia dan berhala atau bahan yang dipahat menjadi berhala, bagaimana mungkin kalau menyembah yang demikian itu. Jadi ayat itu tidak terfokus kepada persoalan-persoalan teologis perbuatan manusia secara universal.
Terlepas dari kritikan semacam itu, kalau merenungkan pesan spiritual dari teologi ini akan terasa betapa realitas Tuhan senantiasa hadir dalam kehidupan alam semesta di mana kapasitas inteligensi (rasionalitas) manusia berposisi sebagai “pelayan” dari KehendakTuhan. Teologi ini menempatkan status manusia dalam kepatuhan total kepada Tuhan, sebab Tuhanlah yang menentukan nasib dirinya, dan tidak ada aspek-aspek kehidupan manusia yang berdiri bebas tanpa kontrol-Nya. Dalam arti lain, teologi ini meniadakan berbagai penyebab horizontal. Yang ada hanyalah penyebab vertikal. Oleh karena itu, teologi ini mengandung kecenderungan “anti-intelektual”, sebab keintelektualan manusia tetap harus tunduk kepada prerogative Kehendak Mutlak Tuhan. Maka konsep Kasb (perolehan dalam berikhtiar) yang ditawarkan teologi ini dilepaskan dari kalkulasi ilmiah-empiris atas usaha-usaha serius mengungkapkan rahasia-rahasia Tuhan yang terkandung di dalam Sunnatullah-sunnatullah-Nya (hukum-hukum alam yang hakikatnya telah given).
Di sini menjadi jelas, bahwa teologi Asy’ariyah sangat bercorak deterministik dan teosentris. Padahal Allah pun menjamin feasibility kapasitas intelektual manusia dalam melakukan perubahan-perubahan strategis yang menyangkut kehidupan dan peradaban seperti yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an S.Ar-Ra’ad : 11 yang terjemahannya berbunyi :
Manusia itu mempunyai pengiring (Malaikat) yang mengikutinya, di hadapan dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tiada merubah (nasib) keadaan suatu kaum (bangsa) sebelum mereka merubah keadaan diri mereka sendiri. Dan bila Allah hendak (mendatangkan) bahaya kepada suatu kaum tiadalah dapat ditolak, dan mereka tiada mempunyai pelindung selain dari Allah.
Dengan demikian betapa kuatnya pengaruh paradigma teologi Asy’ariyah di dalam sistem pendidikan pesantren. Karena dalam hal pengajaran kitab kuning dan metode penyajian ilmu dalam proses belajar-mengajarnya,corak aturan-aturan normatifnya sungguh lebih banyak menerapkan pemikiran Al-Ghazali, yang contohnya dalam hal sopan santun santri (murid) tatkala sedang menuntut ilmu berupa: (1) Hendaknya memberi ucapan salam terlebih dulu kepada gurunya. (2) Tidak banyak bicara di hadapannya. (3)Tidak berbicara selagi
tidak ditanya terlebih dulu oleh gurunya. (4)Tidak bertanya sebelum meminta idzin terlebih dulu. (5)Tidak menentang ucapan guru dengan ucapan (pendapat) orang lain.(6)Tidak menampakkan penentangannya terhadap pendapat gurunya, apalagi menganggap dirinya paling pandai. (7) Tidak boleh berbisik kepada teman di sebelah ketika guru sedang berada di majelis (forum belajar). (8) Tidak menoleh-noleh ketika sedang berada di depan gurunya, tetapi harus menundukkan kepala dan tenang seperti dia sedang melakukan shalat. (9) Tidak banyak bertanya kepada guru ketika sang guru dalam keadaan letih. (10) Hendaknya berdiri ketika gurunya berdiri dan tidak berbicara dengannya tatkala dia sudah beranjak dari tempat duduknya. (11) Tidak mengajukan pertanyaan kepada guru di tengah perjalanannya. (12) Tidak berprasangka buruk kepada guru, ketika sang guru melakukan perbuatan yang secara dhahir-nya tampak mungkar,sebab dia lebih mengetahui rahasia (maksud perbuatannya). Dalam kasus ini si santri (murid) hendaknya mengingat ucapan Nabi Musa AS kepada Nabi Khidir AS seperti yang diterangkan dalam Al-Qur’an S. Al-Kahfi Ayat 71 yang terjemahannya berbunyi : “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya ? Sesungguhnya engkau telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.”
Karena besarnya pengaruh teologi Asy’ariyah ini, maka timbullah butir-butir tradisi yang “kurang positif” di dalam sistem pendidikan pesantren, yang di antaranya berupa :
Pertama, pandangan bahwa ilmu adalah hal yang sudah mapan dan dapat diperoleh melalui barokah Kyai.
Kedua, pandangan tidak kritis yang menyatakan bahwa apa-apa yang diajarkan oleh Kyai, ustadz dan kitab-kitab agama diterima sebagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Ketiga, pandangan bahwa kehidupan ukhrawi paling penting, sedang kehidupan duniawi dipandang tidak atau kurang penting.
Keempat, metode belajar dengan menghafal dan pemikiran tradisional yang diterapkan untuk semua ilmu.
Kelima, kepatuhan mutlak pada Kyai, guru dan kehidupan kolektif (asrama) sehingga dapat menghambat perkembangan individualitas (jati diri) dan menghambat timbulnya berpikir kritis.
Keenam, pandangan hidup fatalistis (deterministik) yang menyerahkan nasib kepada keadaan dan perilaku sakral dalam menghadapi berbagai realitas kehidupan keduniawian sehari-hari.
Kalau demikian, alternatif (konsep) apa yang bisa ditawarkan untuk mempermutu teologi pendidikan pesantren, khususnya dalam rangka mencari identitas yang futuristik ? Dalam tulisan ini saya hendak menawarkan alternatif yang berbentuk rekonstruksi, tetapi tanpa harus berpretensi mengeleminasi total (dekonstruksi makro) atas seluruh tradisi sistem pendidikan yang berlangsung di dalamnya. Maka rekonstruksi yang dimaksudkan di sini adalah hampir mirip dengan suatu adagium yang sangat terkenal di tengah masyarakat NU yang terjemahannya berbunyi: “Memelihara budaya lama (klasik) yang masih baik (fungsional)” sekaligus secara simultan “Mengambil (mengakomodasi) budaya baru yang dipandang lebih baik (lebih bermakna bagi pemutuan peradaban)”. Dalam arti lain, tawaran alternatif ini tetap bernuansa menggunakan metode analisis dekonstruksi, tetapi sebatas terhadap masalah-masalah yang memang tidak rasional untuk dipertahankan.
Sebelum merinci analisis alternatif rekonstruksi itu, ada baiknya memantau perkembangan wacana pemikiran mengenai konsep-konsep pendidikan nasional yang tampak mulai menghadirkan rumusan-rumusan filosofis baru yang dikenal dengan istilah SBM (School Based Management) dan diterjemahkan dengan istilah MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah).
Konsep MPMBS berfilosofi, bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional yang sinkron dengan tantangan peradaban modern yang bermotto kultur keterbukaan (transparansi), strategi pendidikan yang feasible ialah bermodel manajemen yang bisa memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah, dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif (melibatkan unsur efektif masyarakat yang berbentuk komite sekolah) untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah dan mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka ke bangkitan pendidikan nasional.
Penjabaran secara karakteristik dari filosofi MPMBS itu berbentuk: Pertama, karakteristika proses. Kedua, karakteristika input. Ketiga, karakteristika output.
Adapun karakteristika proses mengandung item-item penting yang berupa : (1) Proses belajar-mengajar yang tinggi efektivitasnya.(2) Kepemimpinan sekolah yang kuat & profesional. (3) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib. (4) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif. (5) Sekolah memiliki budaya mutu. (6) Sekolah memiliki Team Work yang kompak, cerdas dan dinamis. (7) Sekolah memiliki kewenangan dan kemandirian. (8) Memperoleh partisipasi yang kuat dari warga sekolah dan masyarakat. (9) Memiliki budaya keterbukaan (transparansi) manajemen. (10) Memiliki kemauan untuk berubah secara psiko-logis dan fisik. (11) Melakukan evaluasi dan refleksi secara berkelanjutan. (12) Responsif dan antisipatif (“menjemput bola”) terhadap kebutuhan yang kontekstual. (13) Membangun komunikasi lintas arah yang baik. (14) Memiliki akuntabilitas (bonafide).
Sementara karakteristika inputnya adalah: (1) Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas (terukur). (2) Memiliki SDM (sumber daya manusia) yang siap pakai serta kreatif. (3) Memiliki staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi. (4) Memiliki harapan prestasi yang tinggi (5) Terfokus secara optimal ke arah audience (murid dan walinya). Dan (6) Memiliki konsep manajemen yang jelas dan realistis.
Sedangkan karakteristika outputnya berupa: (1)Memproduk alumnus yang tinggi prestasi akademiknya (academic achievement), seperti NEM, peserta atau pemenang acara lomba karya tulis ilmiah, olahraga, dan lain sebagainya. (2) Menciptakan prestasi non-akademik (non-academic achievement) yang terpercaya, seperti tampilan moralitas alumnus dan kemampuan kerjasamanya dengan berbagai pihak.
Ada tiga prasyarat yang harus diorientasikan oleh para pegiat pendidikan dalam kerangka SBM / MPMBS tersebut di atas: (1) Pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan dititikberatkan kepada pemberdayaan lembaga dengan memberi otonomi yang luas. (2) Pengembangan sistem pendidikan yang terbuka bagi keragaman audience dan pelaksanaannya. (3) Idealisme pengembangan pendidikan itu mengarah kepada pemutuan solidaritas kesatuan bangsa. Tiga prasyarat yang dilontarkan oleh Prof. Dr. H.A.R. Tilaar ini menegaskan urgensinya paradigma baru sistem pendidikan nasional, sehingga bangsa Indonesia bisa mengejar ketertinggalan peradaban keilmuan dan teknologinya secara lebih cepat.
Jika telah sejauh itu tingkat perkembangan wacana konseptualisasi pendidikan nasional, mampukah para aktivis pengelola pendidikan pesantren mengakomodasi aspek-aspek urgen dari paradigma filosofi pendidikan versi SBM /MPMBS misalnya ? Jawabannya adalah mampu. Karena di samping perlu dilakukannya rekonstruksi teologis di dalam paradigma sistem pendidikannya, lembaga pendidikan pesantren umumnya telah memiliki suatu modal besar (software) yang menurut Mastuhu berbentuk :
Pertama, pandangan pesantren bahwa manusia dilahirkan menurut fithrah-nya masing-masing, sehingga tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan daya-daya dan kreativitas yang positif (Ilahiyah) dan mencegah timbulnya daya-daya yang negatif (syaithoniyah) yang biasanya berupa perbuatan fakhsya’ dan munkar.
Kedua, pandangan bahwa tugas melaksanakan pendidikan dinilai sebagai ibadah kepada Allah SWT, sehingga ketika melaksanakan proses belajar-mengajar seyogyanya dilakukan secara ikhlas dan hanya mengharap ridlo (perkenan/restu)-Nya.
Ketiga, hubungan yang baik dan saling menghormati antara murid (santri) dan guru. Murid percaya bahwa dirinya tidak akan menjadi orang baik dan pandai tanpa budijasa guru, dan sang guru dalam melaksanakan tugasnya dirasakan sebagai mengemban amanat Allah SWT sesuai dengan fungsi dirinya sebagai Khalifatullah (“Wakil Allah”) di bumi.
Keempat, lembaga pendidikan pesantren dipandang sebagai tempat mencari ilmu dan mengabdi, bukan sebagai tempat mencari kelas dan ijazah.
Kelima, metode belajar halaqah dan sorogan yang cukup potensial diberi muatan-muatan baru yang merangsang tumbuhnya dialog-dialog kreatif secara lintas arah.
Keenam, nilai pendidikan dengan sistem asrama yang bermuatan : (1) Pandangan bahwa dalam hak, orang sebaiknya mendahulukan hak orang lain daripada haknya sendiri. Namun dalam hal kewajiban, orang sebaiknya mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain. (2) Keteladanan dan berlomba dalam kebajikan dalam hal mengamalkan ajaran agama dalam hidup keseharian di pesantren.
Ketujuh, pandangan hidup jangka panjang dan menyeluruh, bahwa bagi orang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, ia selalu bersikap optimistis dalam menjalani kehidupan. Ia tidak akan putus asa jika menerima musibah, dan sebaliknya ia juga tidak “lupa daratan” jika memperoleh keuntungan, karena setiap peristiwa dipandang belum final dan semua peristiwa akhirnya akan kembali ke Kebenaran Allah SWT, sekalipun pada waktu itu ia belum mengerti.
Adapun bentuk rekonstruksi teologi pendidikan pesantren dalam kerangka aktualisasi modal software di atas adalah mengkombinasikan dimensi-dimensi penting di dalam teologi Asy’ariyah, seperti konsep tentang kasb (usaha kreatif-produktif), dengan tawaran baru (dari penulis) yang berupa teologi profetik.
Teologi profetik adalah paradigma pemikiran kebertuhanan kepada Allah SWT yang secara transendental teraplikasi ke seluruh perilaku sosial budaya personal dengan berbasiskan mentalitas (kondisi jiwa) kenabian. Setiap Nabi dan Rasul oleh Allah SWT dibekali dengan empat sifat (karakter mental), yaitu shidq (jujur), amanah (accountable), tabligh (penyampai), dan fathanah (cerdas). Dalam konteks teologi profetik, empat macam karakter mental ini dijadikan basis psikologis dalam memahami dan menerapkan ajaran-ajaran Islam yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya, seseorang yang ber-fathanah dan ber-shidiq akan tersadarkan di dalam dirinya bahwa substansi Al-Qur’an S.Ali ‘Imran: 110 yang terjemahannya berbunyi “Kamu adalah ummat yang paling baik yang dilahirkan untuk kepentingan manusia, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang berbuat yang salah, serta beriman kepada Allah,” adalah juga terfokus kepada dirinya. Menurut Jalaluddin Rakhmat, kemampuan ber-amar ma’ruf dan ber-nahi munkar amat ditentukan oleh keberimanan yang kukuh, sebab keberimanan yang semacam ini yang memotivisir perilaku ibadah yang kuat, dan ibadah yang kuat lahir dari rasa syukur dan rasa berhutang budi kepada Allah SWT.
Dalam arti lain, substansi ayat 110 Al-Qur’an S. Ali’Imran di atas menegaskan tugas kekhalifahan setiap pribadi ummat Islam. Maka jika para pengelola pendidikan pesantren terkondisikan dalam wawasan kekhalifahan semacam ini tentu saja akan memiliki target yang jelas tentang visi dan tujuan program kependidikannya. Visi dan tujuan biasanya dibentuk oleh suatu paradigma keagamaan. Sedangkan hakekat paradigma keagamaan yang digerakkan oleh sikap ketundukan yang optimal kepada Allah SWT adalah produk dari perspektif teologis yang dianutnya. Maka tak dapat dibayangkan, bagaimana mungkin seseorang yang menganut teologi fatalism (predestination) akan memiliki wawasan regenerasi kepemimpinan yang bermutu di masa kini dan masa depan ?
Adapun metodologi teologi profetik bertitiktolak dari dua macam keniscayaan epistemologis yang secara simultan perlu dirumuskan. Pertama, merumuskan formulasi substantif tentang nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etis yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, merumuskan substansi perjalanan kesejarahan Nabi SAW dari periode Mekah sampai periode Madinah.
Dalam kerangka epistemologis itu bukan tidak mungkin akan adanya penetrasi-penetrasi abstraktif-deskriptif dari isme-isme yang tidak Islami, sehingga kalau tidak hati-hati akan menciptakan bias-bias yang kontraproduktif terhadap visi teologisnya. Agar hal ini tidak terjadi, maka pemahaman yang benar mengenai peranan dan status akal pikiran (rasio) menurut pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah harus dikonvergensikan dengan pemahaman yang benar tentang kedudukan dan peranan wahyu serta ilham dalam kerangka pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan.
Jika hambatan-hambatan penetratif semacam itu dapat dieleminasi atau diminimalisir, maka tidaklah terlalu sulit merumuskan kerangka ontologi dan aksiologi dari teologi profetik itu. Secara epistemologis, kerangka ontologi itu mengarah kepada penguatan dimensi transendensi spiritual di mana dalam spektrum kependidikan pesantren bisa berbentuk modifikasi konsep kasb (perolehan alamiah dari suatu usaha) menjadi konsep rasionalisasi kasb secara ekstra, artinya perolehan yang diusahakannya tidak diproses secara alamiyah, tetapi secara ilmiah argumentatif yang berorientasi kepada kekinian dan kemasadepanan. Di dalam Al-Qur’an, epistemologi kasb (perbuatan dan perolehan usaha) banyak dikaitkan dengan perbuatan tangan manusia. Menurut Jalaluddin Rahman, di dalam Al-Qur-‘an terdapat 97 ayat yang menerangkan perbuatan tangan manusia yang semuanya menimbulkan konsekuensi logis, baik berupa keberpahalaan maupun keberdosaan. Konsekuensi ini sebetulnya merupakan resiko ilmiah yang disediakan oleh Allah SWT, agar supaya seluruh manusia tidak serampangan dalam berbuat apa pun, artinya perbuatannya selalu memiliki latar argumentasi yang ilmiah.
Nabi SAW sendiri tidak sedikit mensinyalir urgensinya perbuatan tangan (kasb), diantaranya hadits riwayat Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Perbuatan (Al-Kasb) yang terbaik adalah perbuatan tangan seorang pekerja yang berhasil.” Esensi hadits ini menegaskan signifikansi keberhasilan dalam mengaktualisasikan perbuatan tangan manusia, sehingga dimensi rasionalitas atau keilmiahan dari sebuah perbuatan tangan manusia sungguh merupakan keniscayaan. Semacam inilah sebetulnya apa yang dimaksudkan dengan konsep rasionalisasi kasb secara ekstra. Jadi nuansa-nuansa teologi Asy’ariyah-nya masih kental, tetapi sebatas dalam hal meluruskan konseptualisasinya secara rasional. Hal semacam ini yang tidak diperhatikan dalam wawasan teologi kependidikan pesantren.
Makna rekonstruktif atas konsep kasb di atas hanya sebagian dari propria-propria dimensi transendensi spiritual , sebab perspektif dimensi ini secara universal adalah perilaku menghadirkan nilai-nilai atau simbolisasi sifat-sifat Allah SWT dalam manifestasi mobilitas hidup manusia. Simbolisasi ini terkandung di dalam 99 sifat (Al-Asmaul Husna) Allah. Jadi dalam hal ini manusia memperbaiki karakteristika dirinya dengan cara menauladani sifat-sifat-Nya yang Agung. Tujuan transendensi ini adalah menambahkan dimensi transendental dalam perilaku kebudayaannya, sehingga isme-isme populer yang kini merambah masyarakat dunia –seperti hedonisme, materialisme dan sekularisme— idak mudah mengkontaminasi dirinya, apalagi hal itu dapat mendistorsi kualitas keberimanannya. Dalam spektrum strategi kebudayaan Islam, kata Kuntowijoyo, dimensi ini akan menjadi solusi yang rasional dan terbaik, khususnya untuk menekan laju perbuatan-perbuatan dosa yang terkadang terjadi secara insidental.
Nah, dalam lingkup sistem pendidikan pesantren, rekonstruksi teologi ini menghadirkan resiko ilmiah dalam bentuk penjungkirbalikan terhadap “pentingnya” perilaku kultus terhadap kyai, keluarga dan familinya, atau para ustadz. Tradisi kultus semacam ini memang merupakan “anak kandung” dari pola kepemimpinan paternalistik yang kebanyakan dianut oleh sekian banyak pesantren. Sedangkan kultus kepada selain Allah SWT justru sangat tidak ilmiah. Dalam konteks ini metode analisis dekonstruktif tak bisa dihindarkan. Sebab manfaat dekonstruksinya adalah memperbaiki dan menyingkirkan distorsi-distorsi tertentu yang tidak rasional di dalam wawasan atau paradigma teologis-nya.
Adapun kerangka aksiologi dari teologi profetik adalah pencanangan dan pengaplikasian transformasi sosial, yaitu usaha-usaha sosio-kultural yang terfokus kepada penggiatan “memanusiakan” manusia, agar supaya seluruh masyarakat dilepaskan dari kecenderungan “dijajah” dan diperlakukan tidak adil. Nah, dalam lingkungan pendidikan pesantren dimensi transformasi sosial ini bisa berbentuk program regenerasi dan pengkaderan. Sebagaimana telah diketahui oleh publik, bahwa lembaga pendidikan pesantren hampir identik dengan sebuah komunitas ulama, maka masalah krisis kaderisasi ulama yang responsif terhadap tantangan peradaban modern harus benar-benar diperhatikan. Artinya, sistem pendidikan pesantren harus serius memperhatikan redaksi hadits Nabi SAW yang diriwayatkan secara muttafaq ‘alaih yang terjemahannya berbunyi : “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari dada manusia (secara langsung, sehingga si alim akan menjadi orang bodoh). Tetapi ilmu itu dicabut dengan mematikan para ulama, hingga bila seorang alim telah tiada (wafat), maka orang-orang sama-sama mengangkat pemimpin yang bodoh (tentang hukum agama), lalu mereka berfatwa tanpa ilmu (tanpa dasar Al-Qur’an dan Hadits). Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang banyak).”
Dalam konteks ini, seharusnya perintisan lembaga pendidikan pesantren disediakan tidak hanya untuk masyarakat Islam, tetapi juga untuk konsumsi anak-anak muda non-Islam yang bermaksud mempelajari dari awal sekian banyak ajaran agama Islam. Artinya di dalam lembaga pendidikan ini disediakan suatu pusat studi Islam yang berfasilitas lengkap. Jadi program kaderisasi ulama yang dimaksudkan di sini adalah penciptaan kader yang berwawasan luas, berparadigma rahmatan lil’alamin, dan beridealisme futuristik. Sebab kerja-kerja transformasi sosial memang identik dengan perubahan dinamis yang disertai dengan penguatan kedaulatan ummat, sehingga mereka leluasa mendayagunakan kebebasannya dalam memilih dan merencanakan program kekinian dan kemasadepanannya (futuristik).
Dimensi transformasi sosial seperti yang disebutkan di atas dimungkinkan akan berhadapan dengan produk-produk pemikiran peradaban modern yang ternyata tidak semuanya baik, malah produk artefact-nya juga banyak yang tidak positif. Misalnya, cara berbusananya kaum wanita. Kini tidak sedikit para perempuan Islam tergoda menggunakan busana “jilbab gaul”, yaitu busana menutup kepala tetapi memamerkan keindahan dadanya. Untuk masalah-masalah begini, dimensi ketiga yang diperlukan adalah dimensi Islamisasi peradaban, yaitu upaya memperkuat nilai-nilai keislaman dan memasukkannya ke dalam bentuk-bentuk peradaban atau budaya tertentu, sehingga unsur negatifnya bisa tereleminir.
Sebagaimana diketahui bersama, betapa umat manusia di dunia sekarang telah dapat mempercanggih tampilan kebudayaan mereka lewat rekayasa IPTEK. Pada taraf klimaksnya, hal itu melahirkan arus baru yang disebut globalisasi peradaban dunia. Fenomenanya menggiring ummat manusia menjadi masyarakat industrial di mana dampak sampingannya adalah munculnya IPTEK sebagai “ideologi”. Inilah yang kata Kuntowijoyo disebut sebagai kesadaran teknokratik, yang melihat bahwa juru selamat yang baru dalam mengatasi berbagai problematika hidup manusia adalah IPTEK. Semua masalah dilihat sebagai masalah teknik dan dianggap pula sebagai penggerak sejarah yang terdepan. Akibatnya, sekian banyak proses rekayasa IPTEK itu menghebohkan para agamawan dan budayawan. Misalnya, kasus teknologi kloning manusia, dan lain sebagainya.
Karena itulah, tidak semuanya produk IPTEK itu menghasilkan peradaban yang baik dan bersesuaian dengan ajaran agama Islam. Nah, target Islamisasi peradaban adalah meresponsi dan mengeleminir unsur-unsur negatif dari peradaban yang kian modern itu. Dalam lingkungan pendidikan pesantren, peradaban modern itu berbentuk penggunaan peralatan teknologi, seperti televisi dan antena parabola, mobil, computer, alat-alat laboratorium serta telepon. Kalau tidak diwaspadai, semua peralatan teknologis itu bisa digunakan secara negatif yang kemudian mengakibatkan degradasi moral dan mentalitas. Persoalan-persoalan semacam inilah yang menurut dimensi ini perlu di-Islamisir.
Secara konseptual, istilah Islamisasi peradaban akan dituduh sebagai sikap defensif menghadapi tingkat kecanggihan rekayasa IPTEK. Akan tetapi sebagaimana pernah dilakukan oleh Prof. Dr. Ismail Al-Faruki, konsep Islamisasi peradaban tidak sekedar responsi kritik ilmiah terhadap distorsi-distorsi IPTEK. Itu juga suatu gerakan penyadaran spiritualistik bahwa masyarakat sang pelaku IPTEK itu dalam perspektif Islam adalah pranata Ilahi yang segala kecerdasannya dalam merekayasa dan menggunakan kecanggihan IPTEK harus patuh kepada bisikan hati nuraninya (fithratallah) agar supaya bisa terhindar dari pembuatan dan penggunaan produk IPTEK yang bertentangan dengan ajaran agama.
Jika sistem pendidikan pesantren bersedia melakukan rekonstruksi teologis semacam itu, maka konvergensi antara konsep rasionalisasi kasb secara ekstra dengan teologi profetik yang berkomponen transendensi spiritual, transformasi sosial dan Islamisasi peradaban akan mempengaruhi wawasan tentang prinsip-prinsip pendidikan Islam yang diprogramkan di dalamnya, bahwa filosofi sistem pendidikan Islam model pesantren harus difokuskan kepada tujuan ganda yang komprehensif. Di satu sisi bertujuan mencetak anak didik yang tafaqquh fid-din (mendalam pemahaman agamanya), dan di sisi lain mempersiapkan mereka sebagai kader pemimpin ummat yang berwawasan transformatif dan futuristik, serta beridealisme memperkuat dimensi keislaman dalam menggunakan produk-produk peradaban modern. Sehingga jika di tengah masyarakatnya terjadi suatu ketimpangan budaya, ekonomi atau politik destruktif, maka sang kader itu bisa membuat solusi yang baik dan santun. Dia tidak akan frontal (marah) atau grusa-grusu menyelesaikan suatu masalah sulit. Dalam arti lain, tidak semua produk peradaban modern harus ditolak, namun disikapi dengan bentuk sinkronisasi religius, yaitu menyelaraskan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan ajaran Islam menjadi sesuatu yang memperoleh legitimasi agama.
Tawaran rekonstruksi teologis di atas memang berformat das sollen. Akan tetapi jika bisa diaplikasikan secara sistemik, dimungkinkan akan ada perubahan metode pengajaran di dalam sistem pendidikan pesantren, yaitu dari paradigma teaching (mengajar) menjadi paradigma learning (belajar). Paradigma learning ini menggiring anak didik (santri) untuk mandiri dalam berpikir kritis dalam sebuah proses pembelajaran yang andragogis. Kalau hal ini ditradisikan dengan baik, maka di dalam lembaga ini nantinya akan tercipta suatu masyarakat belajar (learning society) yang responsif terhadap urgensi perubahan menuju ke arah yang lebih maju, sehingga stagnasi kultural atau biased akan terhindari.
Urgensi perubahan yang dimaksudkan di sini adalah dialektika internal yang dinafasi oleh sikap terbuka untuk mengakomodir konsep-konsep pendidikan baru yang feasible untuk dikonvergensikan dengan tradisi yang rasional dari sistem pendidikan pesantren yang telah baku. Dalam spektrum semacam ini lembaga pendidikan pesantren akan menemukan identitas baru yang berparadigma kekinian dan kemasadepanan (futuristik).
Secara aplikatif, dialektika internal itu akan menuju ke arah pembaruan yang substansial. Pertama, pembaruan substansi isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum yang baru dan kompetitif. Kedua, pembaruan metodologi, seperti sistem penjenjangan, sistem evaluasi dan supervisi, serta pendidikan andragogi. Ketiga, pembaruan kelembagaan, seperti jenis dan gaya kepemimpinan. Keempat, pembaruan fungsi, dari fungsi mikro kependidikan Islam yang sudah menjadi trademark-nya menuju ke fungsi sosial budaya makro –termasuk ekonomi—yang berparadigma menumbuhkan dan memperkuat kedaulatan ummat. Dalam konteks ini lembaga pendidikan pesantren akan mampu melakukan pemberdayaan ganda yaitu secara internal kelembagaan dan secara eksternal kemasyarakatan secara luas. Kemampuan semacam ini yang kini amat dibutuhkan.

Makalah yang singkat ini hanya secuil dari sekian banyak persoalan menarik yang menyata dan tetap menguat sebagai tradisi di dalam sistem pendidikan pesantren. Hal lain yang berdimensi sosiologis atau berdimensi politis masih tetap menunggu para pengamat untuk menguak dan membongkar detail-detailnya yang obyektif. Demikianlah, dan terima kasih. Wallahu A’lam bish-Shawab. Di Prenduan, 01 Maret 2007 / 11 Shafar 1428.