Sabtu, Oktober 06, 2007

Peradaban Global

GLOBALISASI PERADABAN DUNIA:
ANTARA HEGEMONI MODERNISME
DAN RESPON PARADIGMA KEISLAMAN

Oleh A. Naufal Ramzy


A. Globalisasi Peradaban Dunia

Jauh sebelum hingar-bingarnya wacana globalisasi peradaban dunia muncul ke permukaan publik, pada tahun 1965, seorang pakar intelektual dari Harvard University Amerika Serikat bernama Harvey Cox (1965) pernah memprediksikan bahwa modernisme dan modernisasi hanya akan menciptakan "secular city" ; bahwa modernisme dan modernisasi adalah lonceng kematian bagi agama-agama. Ia berteori, semakin modern suatu masyarakat, maka semakin jauh pula mereka dari agamanya. Agama diprediksikan tidak akan pernah bangkit lagi di tengah arus modernisasi yang mengglobal dan akan direporkan oleh gerak sekularisasi yang tidak akan terbendung itu.

Apakah itu modernisasi yang kemudian melahirkan isme baru yang disebut modernisme ? Di antara para teoretisi (Samuel Huntington, 1976: 30-31) perspektif modernisasi ada yang menyebut ciri-ciri pokok modernisasi sebagai berikut:

Pertama, modernisasi merupakan proses bertahap. Teori Rostow misalnya, membedakan berbagai fase pertumbuhan ekonomi yang hendak dilalui oleh setiap masyarakat. Masyarakat yang semula berekonomi primitif di suatu saat nanti akan terposisikan di dalam tatanan sosial ekonomi yang maju dan kompleks. Jadi menurut teori ini, modernisasi ditafsirkan sebagai proses pengembangan taraf ekonomi masyarakat secara pelan-pelan dan bertahap. Negeri kita pernah menggunakan teori Rostow ini di zaman rezim Orde Baru melalui konsep pembangunan REPELITA tahap I dan II di mana klimaksnya bukan berhasil menjadi negara yang secara ekonomi "tinggal landas" akan tetapi justru benar-benar mengalami "tinggal di landasan tumpukan hutang kepada IMF".

Kedua, modernisasi juga dipahami sebagai proses homogenisasi. Menurut sudut pandang ini, semakin banyak tahapan kemoderenan dilalui oleh sejumlah besar suatu bangsa, maka semakin homogen bentuk dan karakteristik sosial budaya masyarakatnya.

Ketiga, modernisasi terkadang terwujud dalam bentuk peniruan total terhadap budaya ekonomi negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Bahkan untuk mencapai kemajuan ekonomi seperti mereka, tradisi-tradisi baru yang ultra-liberal tak dipersoalkan lagi dari perspektif ajaran agama. Sikap latah meniru mereka menghinggapi hampir sebagian besar negara-negara dunia ketiga (negara-negara selatan), termasuk negeri kita Indonesia.

Keempat, modernisasi juga dipandang sebagai proses yang tidak bergerak mundur. Karena tatkala paradigma ini telah terinternalisir ke dalam sudut-sudut pikirannya maka tidaklah dapat lagi dihentikan. Dalam hal ini modernisasi dinilai sebagai "suatu jawaban universal" problematika negara-negara dunia ketiga, terlepas apakah nanti bertentangan dengan tradisi lokal yang bercorak luhur.

Kelima, modernisasi merupakan perubahan progresif. Sekalipun efek samping maupun korban modernisasi beraneka ragam dan seringkali sangat tidak manusiawi, ternyata dalam jangka panjang, modernisasi tidak sekedar merupakan sesuatu yang pasti terjadi, tetapi lebih dari itu modernisasi dilihat sebagai sesuatu yang diperlukan dan diinginkan. Dalam konteks ini, modernisasi melibatkan proses yang terus-menerus dan sulit dihentikan dikarenakan menyangkut hajat hidup yang primer bagi masyarakat.

Kelima macam ciri pokok modernisasi di atas secara historis cikal-bakalnya dilahirkan oleh ideologi kapitalisme yang secara sistematis mendikte perkembangan sosial budaya ekonomi masyarakat untuk terjun berkecimpung ke tengah gerakan individualisasi manusia. Karena itu, di bidang keagamaan gerakan itu menimbulkan reformasi dalam memahami teks-teks ajaran agama, dan di bidang penalaran berpikir melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan alam baru. Sedangkan di bidang hubungan masyarakat gerakan itu memunculkan ilmu-ilmu sosial baru. Dan yang terutama secara makro, semua itu berada di dalam relasi-relasi kuasa yang hegemonik dari ideologi kapitalisme itu, di mana di sektor ekonomi semuanya itu saling tarik-menarik di atas tujuan-tujuan pragmatis.

Adapun ciri khas ideologi kapitalisme itu, kata William Ebenstein & Edwin Fogelmen (1987: 148-152) berupa : (1) Pemilikan perorangan (individual ownership), yakni menjustifikasi menguasai secara pribadi apa pun yang berada di atas bumi ini. (2) Perekonomian pasar (market economy), bahwa mekanisme ekonomi masyarakat sangat ditentukan oleh kuantitas modal (kapital), volume permintaan dan tingkat penawaran barang atau jasa. (3) Persaingan (Competition), bahwa ekonomi pasar amat melibatkan suasana persaingan, semakin kuat kapital yang dimiliki, maka semakin berpeluang pula memenangkan persaingan yang super-ketat sekalipun. Dan yang (4) Keuntungan (profit), yaitu cita-cita puncak yang pasti diinginkan oleh sang pelaku ekonomi pasar itu. Mereka semua super-sibuk adalah semata-mata mencari profit yang sebesar-besarnya, walaupun berakibat sangat merugikan sekian perekonomian pihak lain yang bermodal kecil.

Tatkala ideologi kapitalisme menyebar melalui politik imperialistik, di saat yang sama semakin pesat pula perkembangan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi. Dua hal yang tumbuh pesat di atas jalur yang paralel ini, menurut Alvin Toffler (1980),pada taraf perkembangannya lalu melahirkan corak peradaban dunia gelombang ketiga, yang ditandai dengan dominannya sektor informasi dan komunikasi di setiap pengambilan keputusan penting yang strategis.

Corak peradaban dunia gelombang ketiga inilah yang kemudian melahirkan arus globalisasi, dan yang terutama ter-globalisir adalah sistem kapitalisme Barat, sehingga negara-negara Komunis pun dapat diterobos dengan memasuki tatatan sistem sosialisme mereka, yang produknya adalah bubarnya negara adikuasa Uni Sovyet. Pembubaran negara Uni Sovyet itu sangat menegaskan kemenangan sistem kapitalisme Barat di tengah ketatnya arus globalisasi peradaban dunia yang sangat menghantam ideologi mereka.

Dalam konteks itu tampaklah bahwa sistem kapitalisme yang semula mulai tumbuh berkembang di negeri Inggris pada abad ke-18 Masehi semakin memperkuat penyebaran modernisasi budaya yang penetratif di seluruh pelosok dunia melalui perdagangan dan imperialisasi.

Bahkan Jurgen Habermas (1981: 20) yang dikutip dari Azyumardi Azra (1993: 5), seorang filosof sosial dari Jerman mengamati, bahwa ekspansi dan globalisasi kapitalisme tidak hanya mendorong lahirnya kehidupan yang materialistik dan hedonistik, tetapi juga semakin mengakibatkan terjadinya instruksi massif terhadap kontrol-kontrol administratif rasional ke dalam banyak sektor kehidupan. Akibatnya, rasa terancam dan kecemasan muncul di kalangan masyarakat terhadap bagian-bagian paling rawan dalam kehidupan mereka, khususnya dalam perilaku keagamaan mereka.

Kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan secara spontan dan lebih diatur oleh adat istiadat, kini, gara-gara globalisasi kapitalisme, harus tunduk di bawah pengaturan-pengaturan yang rinci dan kompleks. Tentu saja tingkat kedalaman intervensi hal itu atas kehidupan sehari-hari dan pribadi dapat dirasakan secara berbeda-beda sesuai dengan posisi mereka di dalam stratifikasi sosial ekonomi masyarakat.

Dalam konteks inilah, pada hakekatnya modernisme yang "berlokomotif" globalisasi kapitalisme itu dipandang gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna dan menyejukkan batin kepada umat manusia. Yang paling disesali adalah betapa di mana-mana terjadi tindakan de-humanisasi (“penjajahan”). Yang namanya manusia sudah tergeser posisinya dan tidak lebih hanya sebagai sekrup suatu mesin raksasa dari sistem saling terkait dari ekonomi kapitalisme dunia.

B. Bangkitnya Spiritualisme Islam

Nah, ketika sekian banyak unsur masyarakat telah dimekanisasi sebagai "robot-robot" kapitalisme global, dan modernisme telah merasuk menjadi nafas-nafas budaya baru yang sangat hegemonik dan sering terkesan tak tertandingi, di lapisan-lapisan masyarakat tertentu terlihat sedang sekuat tenaga menjinakkan kegelisahan hati nuraninya untuk kembali ke dalam habitat spiritualitasnya yang paling primordialistik. Perasaan teralienasi dari bisikan kejujuran hati nuraninya sendiri seakan telah menemukan suatu momentum yang paling membahagiakan dirinya disebabkan telah berjumpa lagi dengan Dzat Sang Pencipta dirinya, yaitu Tuhan.

Dalam situasi jiwa yang transendens semacam itu, tidaklah bermakna lagi berlimpahnya harta kekayaan, sebab kebahagiaan material yang selama ini mereka rasakan hanyalah kebahagiaan yang semu. Adapun kebahagiaan hakiki, kini, bagi mereka, adalah kekayaan spiritualistik yang justru dipandang abadi.

Karena itu, kini, di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, telah bertebaran digiatkannya kursus-kursus kajian sufisme Islam atau acara dzikir bersama. Apalagi memang telah banyak diaktifkan di tengah masyarakat kelompok-kelompok Tarekat, seperti Tarekat Tijaniyah, Naqsabandiyah dan Qadariyah. Satu contoh, Yayasan Tazkiyah yang dikelola oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat di Jakarta adalah forum yang mengelola aktivitas sufisme secara kognitif-intelektual, dan aplikasinya pasti akan bercorak fenomenal. Karena itu, betapa masyarakat Jakarta sekarang mulai menoleh ke aktivitas kerohanian yang asketis.

Di Amerika Serikat pun kajian-kajian sufisme dan aktivitas spiritualitasnya telah lama yang menggejala, sehingga pengarang buku Megatrends 2000, yaitu John Naisbitt dan Patricia Aburdene, berpendapat bahwa globalisasi tidak hanya menimbulkan dekadensi kemanusiaan, namun juga melahirkan kebangkitan "spiritualitas" yang amat bersifat pribadi, walaupun -kata Azyumardi Azra (1993: 7)- tidak menguat sebagai "organized religion".

Jika fenomenanya demikian, berarti salah satu solusi keluar dari problematika yang ditimbulkan oleh modernisme kapitalistik adalah mempelajari ajaran-ajaran sufisme Islam yang pada intinya memperkuat keseimbangan antara kualitas berpikir dan kualitas berdzikir. Berpikir canggih tanpa berdzikir mungkin akan melahirkan produk kreasi budaya yang kontradiktif dengan nilai-nilai agama Islam. Namun, berdzikir saja secara ultra-kontinyu, tanpa berpikir yang rasional, bisa jadi akan menghadirkan efek samping yang disebut “penyakit” apatisme sosial.

Tetapi persoalannya sekarang, mungkinkah dalam kerangka pembangkitan milieu peradaban dunia Islam, efek-efek samping dari globalisasi hanya cukup diberi solusi model gerakan sufisme Islam ?? Jawabannya tentu tidak. Sementara ciri-ciri produk globalisasi peradaban dunia itu, di samping yang positif yang berbentuk bangkitnya dunia faith (keyakinan keagamaan), kata Jalaluddin Rakhmat (1994: 71-75),juga berupa apa yang tergabung di dalam istilah 3 F, yaitu :

Pertama, ragam-ragam food ( makanan ), sekian macam makanan impor yang siap saji di depan mata kita, padahal belum tentu makanan impor itu tidak mengandung zat lemak babi. Fenomena berikutnya, makanan-makanan produk lokal yang murah dan tak kalah bergizinya menjadi tersingkir dari kompetisi pasar.

Kedua, ragam-ragam fashion (model baju terbaru), bahwa kriteria kualitas baju khususnya bagi kaum wanita, tidak lagi dari segi harga yang mahal, tetapi juga dari segi efek sensualitasnya. Semakin ketat baju yang dipakai, maka semakin ingin dipandang memiliki tubuh seksi yang mempesona. Busana "jilbab gaul" yang akhir-akhir ini mengemuka adalah busana perempuan Muslimah yang sangat dipengaruhi oleh model busana ketat dari Barat. Ini memang ironi, kepala perempuan Muslimah itu ditutup dengan kerudung, sementara bajunya ketat sehingga terkesan sedang memamerkan keindahan bentuk dadanya. Anehnya lagi, konon model-model busana "jilbab gaul" itu dirancang (didesain) oleh Hajjah-hajjah baru dari kalangan selebritis. Fenomena ini tak mendapat respons yang seimbang dari para tokoh ulama kita. Entahlah mengapa demikian…. !

Ketiga, aneka ragam fun (hiburan), yang contohnya dapat disaksikan di layar-layar televisi, dari bentuknya yang sopan sampai yang bentuknya bernuansa porno. Dari ciri yang ketiga inilah yang paling banyak menimbulkan efek negatif ke dalam wawasan berpikir para generasi muda Islam. Mentalitas kepribadian mereka sampai ada yang bercorak permisive (menganggap enteng berbuat maksiat, baik dosa-dosa besar ataupun dosa-dosa kecil). Kini, apalagi lewat teknologi handphone dan jaringan internet, betapa sajian-sajiannya kalau tidak difilter sangat mungkin menimbulkan distorsi atau dekadensi moral yang pasti memprihatinkan.

Nah, dalam spektrum tawaran pemikiran di atas, solusi yang bercorak sufisme Islam haruslah berbentuk sufisme yang ciri utamanya adalah verifikasi terhadap motif-motif moral dan penerapan metode dzikir serta moroqobah atau konsentrasi kerohanian guna mendekati Allah SWT dalam rangka meneguhkan keberimanan secara teologis, dan mengaplikasikan mutu kerohanian itu dalam mobilitas sosial budaya ekonomi tanpa harus berpandangan bahwa dimensi keduniawian adalah negatif.

Kemudian aspek lain yang semestinya melengkapi solusi sufisme Islam tersebut ialah wawasan pencerdasan kultural. Jika solusi sufisme itu dikategorikan sebagai langkah transendensi, maka pencerdasan kultural adalah kritisisme berpikir mengenai keadaan dan perkembangan budaya yang ada di lingkungan kita. Dengan pencerdasan ini kita tidak latah meniru budaya-budaya asing walaupun sangat modern. Kita akan terlatih memfilter apa pun yang dibawa oleh budaya-budaya yang berasal dari produk globalisasi peradaban dunia. Akan tetapi kita juga harus tidak eksklusif dalam menerima hal-hal yang positif dari berbagai macam budaya modern itu.

Masalahnya sekarang, bagaimana cara kita mengembangkan relasi-relasi yang bermakna antara wawasan sufisme Islam dengan segala macam budaya-budaya yang positif dari globalisasi peradaban dunia ?? Jawabannya, kata Ignas Kleden (1987: 161-166), kita bisa meminjam teori Ki Hadjar Dewantara yang dikenal dengan asas "tri-kon" yang terdiri dari paham-paham konsentrisitas, kontinuitas dan konvergensi.

Konsentrisitas di sini dimaksudkan sebagai upaya menekankan substansi (inti) yang sentral dari perkembangan budaya yang berlangsung. Artinya, strategi kebudayaannya bertitiktolak dari grand-design tertentu yang dapat dikontrol secara efektif.

Sedangkan kontinuitas ditargetkan sebagai taktik penjabaran budaya yang tak menyebabkan situasi biased (kontradiksinya cita-cita ideal dengan usaha perwujudannya secara faktual). Artinya, antara Das Sollen strategi kebudayaan Islam bisa sinkron dengan Das Sein pada level aplikasinya.

Adapun konvergensi dalam spektrum di sini merupakan sikap budaya yang bisa berakomodasi dengan budaya-budaya lainnya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam.

Dalam konteks ini, gerakan sufisme yang berkarakter sebagai gerakan kebudayaan dapat diposisikan sebagai langkah transformatif yang tidak hanya membantu melakukan perubahan kepribadian spiritual umat Islam secara perorangan, tetapi juga dapat merubah kondiri struktur sosial budaya ekonomi mereka tatkala mereka tidak berdaya berhadapan dengan supra-struktur kekuasaan.

Transformasi di sini -meminjam istilah A. Naufal Ramzy (1993: 163-178)- memang berhadapan dengan kuatnya penetrasi arus globalisasi peradaban dunia. Akan tetapi ketika transformasi ini di-back up oleh solusi sufisme Islam, besar kemungkinan di dalamnya tidak akan terjadi erosi makna yang kontaminatif.

Secara universal, tawaran pemikiran di atas ingin menyeimbangkan keharusan kita dalam menggiatkan aktivitas ijtihad pemikiran yang secara paralel juga serius memasuki dunia sufisme Islam secara intens sesuai dengan substansi ayat 190 dan 191 Al-Qur an S. Ali 'Imran, bahwa di tangan kreasi Ulul Albab-lah pencanangan paradigma keislaman mampu dikonseptualisasi, yang kemudian dapat direalisasikan secara massif justru tatkala "jaring-jaring" globalisasi peradaban dunia semakin gencar memasuki rumah-rumah tangga kaum Muslimin.

Itulah yang diidealisasikan sebagai responsi paradigmatis keislaman atas persaingan kultural yang lintas nilai-nilai. Klimaksnya, tawaran pemikiran di atas meniscayakan kecerdasan dan kesadaran baru, bahwa spiritualisme Islam harus diaktifkan dan digerakkan.

Masalah yang terkadang menghambat usaha mengaplikasikan tawaran tersebut adalah terlalu kuatnya kultur paternalistik umat Islam, sehingga elite-elite pemimpin mereka yang berposisi sebagai patron sering sangat keberatan melakukan perubahan mental. Sebab masih ada kecemasan bahwa mereka nantinya tidak lagi memiliki power yang “menguntungkan” bagi mereka, baik itu keuntungan psikologis, maupun keuntungan materi (finansial).

Jika umat Islam secara merata memperoleh pencerahan berpikir atau kecerdasan sufistik memang akan memunculkan fenomena baru yang berbentuk tumbuhnya kemandirian (independensi) beragama. Artinya, mereka tidak lagi perlu terlibat secara tidak langsung (atau langsung) dalam tindakan “kultus” kepada para elite pemimpinnya. Sebab mereka telah mampu mencari dan menemukan dalil-dalilnya di dalam nash Al- Qur an dan As-Sunnah tentang negatifnya “kultus” itu.

Namun segera atau lambat, sebesar apa pun hambatan seperti yang disinggung di atas itu terjadi, dengan semakin banyaknya anak-anak muda Islam yang memasuki pendidikan perguruan tinggi, dimungkinkan tradisi “kultus” terhadap siapa pun atau apa pun akan berkurang dan habis sama sekali. Sehingga yang biasa “dienakkan” dengan kultur paternalistik, suatu hari nanti akan melihat kenyataan bahwa ajaran Islam yang berdimensi sufistik-teologis memang suatu kebenaran substansial yang berefek domino mengeleminir segala bentuk “kultus”. Sebab “kultus” memang bertentangan dengan konsep monotheisme (tauhid) Islam.

Wallahu A'lam bish-Shawab !

(*) Penulis adalah Dosen Filsafat Ilmu FIA Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan (1997-Kini). Makalah telah didiskusikan dalam Forum Diskusi Ramadhanan 1428 H BEM Fakultas Ilmu Administrasi UNIVERSITAS MADURA (UNIRA) PAMEKASAN
Jl. Raya Panglegur KM 3,5 Kota Pamekasan, pada Senin Legi, 19 Ramadhan 1428 / 01 Oktober 2007.

Referensi Makalah:
1.Harvey Cox, The Secular City: Urbanization and Secularization in Theological (New York: Macmillan, 1965).

2.Samuel Huntington, "The Change to Change : Modernization, Development, and Politics", dalam Cyril E.Black (Editor), Comparative Modernization : A Render (New York : The Free Press, 1976).

3.William Ebenstein & Edwin Fogelman, Isme-isme Dewasa Ini (Jakarta: Penerbit Erlangga,1987),Cetakan Ke-09.

4.Alvin Toffler, The Third Wave (New York : William Morrow & Company, 1980). Gelombang Peradaban I (SM – 1790), Gelombang Peradaban II (1790 – 1900), dan Gelombang Peradaban III (1900 – Zaman Kekinian, dst). Gelombang III ini yang menyuguhkan "revolusi" teknologi informasi-komunikasi.

5.Jurgen Habermas, "The Dialectics of Rationalization : An Interview", Telos, St.Louis (Missouri : Sociology Department, Washington University, 1981).Dikutip dari Azyumardi Azra, "Neo-Sufisme dan Masa Depan Islam" (Jakarta: Diskusi Serial Yayasan Wakaf Paramadina, 1993) KKA Seri ke-71 Tahun VII/1993.

6.Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual : Refleksi Sosial Seorang Cende-kiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1994),Cetakan ke-07.

7.Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,(Jakarta: LP3ES, 1987),Agustus,Cetakan ke-1.

8.A, Naufal Ramzy, "Masa Depan Islam : Ke Arah Gerakan Kebudayaan", dalam A. Naufal Ramzy (Editor), Islam dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta: Penerbit Deviri Ganan, 1993), Cetakan ke-1.

Tidak ada komentar: