Jumat, September 28, 2007

Teologi Pendidikan Pesantren

REKONSTRUKSI TEOLOGI PENDIDIKAN PESANTREN :
SEBUAH PENCARIAN IDENTITAS YANG FUTURISTIK
Oleh A. Naufal Ramzy

Akhir-akhir ini dalam skala makro, perkembangan dan fenomena sosial budaya apa pun oleh para pengamat dikomentari dari aspek teologi, apakah itu teologi pembebasan, teologi pembangunan atau teologi transformatif. Komentar-komentar secara teologis seperti ini pada hakekatnya menginginkan penelusuran paradigmatis tentang skala-skala makro itu. Sebab tidaklah mungkin suatu miliue sosial budaya tertentu mengemuka secara faktual dan mengimplikasikan corak mentalitas massif tanpa dilatarbelakangi oleh sebuah paradigma (bisa secara ideologis) yang menggerakkan motivasi-motivasi primer, sekunder dan tersier.
Misalnya, paradigma teologi transformatif yang dilontarkan oleh Moeslim Abdurrahman adalah dimaksudkan sebagai respon alternatif terhadap distorsi-distorsi yang diakibatkan oleh penerapan paradigma modernisasi. Pembangunan yang menganut paradigma ini mengedepankan proses penggunaan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) demi keuntungan finansial yang optimal kendati pun harus mereduksi nilai-nilai martabat manusia yang notabene-nya justru sebagai pelaksana langsung IPTEK itu. Dalam hal ini, menurut Kuntowijoyo, fungsi IPTEK yang modern telah berubah menjadi alat kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan kepada massa yang menjadi buruhnya.
Maka alternatif dalam bentuk paradigma teologi transformatif hendak menempatkan nilai-nilai martabat manusia pada posisi yang terhormat dan proporsional. Pertama, menekankan dimensi keadilan dalam setiap proses perubahan sosial. Kedua, memperkuat visi-visi sosial yang emansipatoris dalam dinamika budaya. Ketiga, memperkukuh artikulasi pesan-pesan ajaran agama dalam kerangka moral dan etika. Keempat, menghadirkan dialog-dialog yang interaktif antara premis-premis teks keagamaan dan konteks sosial budaya. Kelima, otoritas perubahan sosialnya berbasis pada kepentingan seluruh komponen masyarakat. Keenam, berorientasi pada realisasi gagasan yang berdampak strategis dalam setiap ruangan kebebasan aktivitas masyarakat. Ketujuh, memfasilitasi penyaluran aspirasi dan kritik konstruktif dalam berhadapan dengan supra-struktur (pemerintah atau negara), sehingga kedaulatan masyarakat benar-benar termanifestasi secara independen.
Lalu bagaimanakah performance teologi pendidikan pesantren, khususnya pondok pesantren salaf, sehingga untuk menegaskan identitasnya yang futuristik perlu dilakukannya rekonstruksi tertentu ? Bukankah penampilannya yang berlangsung hingga saat ini ternyata tetap menunjukkan kemampuannya dalam ber-survival ?
Untuk melacak corak teologi pendidikan pesantren bisa lewat penelusuran tradisi-tradisi yang dominan yang berkelindan di dalamnya. Menurut Mastuhu, corak itu ditunjukkan dalam bentuk: Pertama, pengajaran kitab-kitab kuning yang lebih banyak bertemakan penggabungan ilmu fiqih dengan amalan-amalan akhlaq sufistik (tasawuf). Kitab-kitab ini secara total beraliran madzhab Syafi’ie di bidang fiqih dan beraliran Al-Ghazali di bidang ilmu tasawuf. Misalnya, Bidayatul Hidayah, Ihya’ Ulumiddin, Minhajul ’Abidin, Fathul Mu‘ien, Fathul Wahhab, I’anatuth-Tholibin, Kifayatul Akhyar, Ta’lim Muta’allim, dan lain sebagainya. Sementara kitab fiqih yang mengkaji masalah-masalah secara lintas madzhab seperti Fiqhus-Sunnah karangan Sayyid Sabiq belum diperbolehkan di dalam lembaga ini. Sedangkan kitab ushul fiqihnya –seperti Al-Luma’- adalah kitab yang tidak mentolerir paradigma-paradigma pemikiran Mu’tazilah atau lainnya yang mengedepankan potensi rasio. Kedua, metode pemberian ilmu dalam proses belajar-mengajar lebih banyak menekankan penguasaan dan pengayaan materi pelajaran daripada metodologi berpikir keilmuan. Meskipun di pesantren juga diajarkan ilmu mantiq (logika dasar), tetapi sifatnya sekedar mekanis dan tidak mendorong berkembangnya pemikiran rasional. Padahal salah satu cara mempercerdas anak didik (santri) dalam berlatih berpikir ilmiah adalah melalui penguasaan ilmu ini. Ini sebetulnya kontradiktif dengan sikap ulama panutannya, yaitu Al-Ghazali, di mana ia tetap menghargai ilmu mantiq dengan membuat pernyataan bahwa orang yang tidak tahu mantiq hujjah-nya (argumentasi) tidak dapat diterima (tidak ilmiah). Ketiga, hirarki kepemimpinan pesantren lebih bercorak paternalistik. Kyai adalah figur sentral yang memiliki hak veto dalam setiap pengambilan keputusan yang strategis. Sedangkan estafeta regenerasinya lebih menganut sistem urut-kacang berdasarkan senioritas anak-cucu keturunannya, bukan berdasarkan kualitas keilmuan para ustadz, pengurus dan anak-cucu keturunannya. Dalam hal ini, ada faktor yang ikut menentukan suksesnya seseorang belajar di pesantren, yaitu menghormati dan memuliakan Kyai, anak-cucunya dan para ustadz, sekaligus menjauhi perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka tidak senang atau tersinggung perasaannya. Begitulah apa yang diteorikan oleh pengarang kitab Ta’lim Muta’allim, Az-Zarnuji.
Ketiga macam corak tradisi itulah yang sangat dominan mencitrakan performance pendidikan pesantren, dan itu pula yang merupakan komponen basis wawasan paradigmatis-teologis-nya. Seperti telah diketahui, Al-Ghazali sang penganut teologi Asy’ariyah adalah ulama panutan sistem pendidikan pesantren, sehingga ketiga macam corak tradisi itu memperoleh justifikasi teologis dari penganutan atas pemikiran sufistik Al-Ghazali, dan implikasinya adalah betapa kuatnya image pengaruh teologi Asy’ariyah di dalam lembaga pendidikan ini. Kata Mastuhu; Paham Asy’ariyah ini yang masuk dan mendominasi kehidupan pesantren, bahkan hampir seluruh ummat Islam Indonesia mengikuti teologi Asy’ariyah.”
Dalam setiap literatur ilmu teologi disebutkan bahwa ada dua aliran teologi yang sama-sama ekstrem pemikirannya, yaitu teologi yang beraliran Qadariyah dan yang beraliran Jabariyah. Aliran Qadariyah yang mengagungkan kemampuan akal pikir (rasio) dan aliran Jabariyah yang mengeleminir peranan dan fungsi strategis akal pikir (rasio), oleh kalangan penganut teologi Asy’ariyah harus disikapi dengan alternatif jalan tengah, yaitu pandangan bahwa Allah SWT tetap memiliki otoritas prerogatif dalam menentukan nasib seseorang, sekaligus menghargai potensi akal pikir (rasio) sebatas dalam koridor ber-ikhtiyar (berusaha yang gigih). Dalam perspektif teoritis, teologi Asy’ariyah sebetulnya cukup ilmiah dalam usaha menghindarkan ummat dari berbuat kultus terhadap akal pikir (rasionalisme) sekaligus bisa memposisikan Allah SWT secara mulia dan berotoritas tinggi. Dalam kitabnya Jawharut Tawhid, Ibrahim Al-Laqqani menegaskan format teologi Asy’ariyah dalam kalimat :
“Keberuntungan orang yang bahagia sudah ada pada-Nya di zaman azali, demikian pula orang yang sengsara, dan tidak berubah lagi.”
“Bagi kita (kaum Asy’ari) hamba (manusia) dibebani kasb (usaha), namun usaha itu tidak akan mempunyai dampak, ketahuilah !”
“Jadi manusia tidaklah terpaksa (tanpa daya) tapi juga tidak bebas, juga tidaklah masing-masing berbuat atas pilihannya. Bila Dia (Allah) memberi kita pahala ( kebahagiaan), maka hal itu adalah semata-mata karena kemurahan (fadhl)-Nya. Dan bila Dia menyiksa (kita), maka hal itu adalah semata-mata karena keadilan-Nya.”
Teologi Asy’ariyah dirintis oleh Abu Hasan Al-Asy’ari. Ia lahir di kota Basra pada tahun 873 M dan wafat pada 935 M (usia 62 tahun). Di masa mudanya ia berguru pada seorang tokoh (teolog) Mu’tazilah yang amat terkenal bernama Al-Jubba’i. Tetapi tatkala memasuki usia 40 tahun, ia berbalik mengkritik tajam prinsip-prinsip ajaran gurunya itu. Lalu ia pergi ke Basra dan menyatakan pada publik dalam bentuk statement berikut ini :
“ Wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh ia telah mengenalku. Barang siapa yang tidak mengenal aku, maka aku mengenalnya sendiri. Aku adalah Fulan bin Fulan (maksudnya Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari). Dulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak bisa dilihat dengan mata, bahwa perbuatan-perbuatan tertentu aku sendiri yang melakukannya, kini aku bertobat, menjauhkan diri dan menentang paham-paham Mu’tazilah. Saya keluar dari paham ini.”
Jika menilik apa yang tersirat dari statement Abu Hasan Al-Asy’ari di atas, maka tampaklah bahwa teologi Asy’ariyah nyaris sebagai kelanjutan aliran paham Jabariyah yang memandang manusia tidak merdeka dan mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Paham ini disebut juga dengan istilah fatalism atau predestination. Dalam perspektif ini manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Ia pun tidak mempunyai daya, kemauan dan pilihan. Ia senantiasa berbuat secara terpaksa. Apa itu perbuatan yang berpahala atau yang mengundang siksaan, semuanya adalah paksaan. Kalau demikian, maka suatu kewajiban juga paksaan (jabr).
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan, teologi Asy’ariyah memakai istilah kasb (perolehan). Kasb (perbuatan) manusia adalah ciptaan Allah SWT. Pendapat ini didasarkan pada pemahaman terhadap Al-Qur’an S. Ash-Shaffat : 96 yang terjemahannya berbunyi : “Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.”
Penggunaan ayat 96 ini, sebagai argumentasi, menurut Jalaluddin Rahman, terasa kurang tepat. Sebab kalau memperhatikan rangkaian ayat itu dengan ayat di sebelumnya justru fokusnya adalah pembicaraan tentang berhala yang disembah selain Allah. Allah yang telah menciptakan manusia dan berhala atau bahan yang dipahat menjadi berhala, bagaimana mungkin kalau menyembah yang demikian itu. Jadi ayat itu tidak terfokus kepada persoalan-persoalan teologis perbuatan manusia secara universal.
Terlepas dari kritikan semacam itu, kalau merenungkan pesan spiritual dari teologi ini akan terasa betapa realitas Tuhan senantiasa hadir dalam kehidupan alam semesta di mana kapasitas inteligensi (rasionalitas) manusia berposisi sebagai “pelayan” dari KehendakTuhan. Teologi ini menempatkan status manusia dalam kepatuhan total kepada Tuhan, sebab Tuhanlah yang menentukan nasib dirinya, dan tidak ada aspek-aspek kehidupan manusia yang berdiri bebas tanpa kontrol-Nya. Dalam arti lain, teologi ini meniadakan berbagai penyebab horizontal. Yang ada hanyalah penyebab vertikal. Oleh karena itu, teologi ini mengandung kecenderungan “anti-intelektual”, sebab keintelektualan manusia tetap harus tunduk kepada prerogative Kehendak Mutlak Tuhan. Maka konsep Kasb (perolehan dalam berikhtiar) yang ditawarkan teologi ini dilepaskan dari kalkulasi ilmiah-empiris atas usaha-usaha serius mengungkapkan rahasia-rahasia Tuhan yang terkandung di dalam Sunnatullah-sunnatullah-Nya (hukum-hukum alam yang hakikatnya telah given).
Di sini menjadi jelas, bahwa teologi Asy’ariyah sangat bercorak deterministik dan teosentris. Padahal Allah pun menjamin feasibility kapasitas intelektual manusia dalam melakukan perubahan-perubahan strategis yang menyangkut kehidupan dan peradaban seperti yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an S.Ar-Ra’ad : 11 yang terjemahannya berbunyi :
Manusia itu mempunyai pengiring (Malaikat) yang mengikutinya, di hadapan dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tiada merubah (nasib) keadaan suatu kaum (bangsa) sebelum mereka merubah keadaan diri mereka sendiri. Dan bila Allah hendak (mendatangkan) bahaya kepada suatu kaum tiadalah dapat ditolak, dan mereka tiada mempunyai pelindung selain dari Allah.
Dengan demikian betapa kuatnya pengaruh paradigma teologi Asy’ariyah di dalam sistem pendidikan pesantren. Karena dalam hal pengajaran kitab kuning dan metode penyajian ilmu dalam proses belajar-mengajarnya,corak aturan-aturan normatifnya sungguh lebih banyak menerapkan pemikiran Al-Ghazali, yang contohnya dalam hal sopan santun santri (murid) tatkala sedang menuntut ilmu berupa: (1) Hendaknya memberi ucapan salam terlebih dulu kepada gurunya. (2) Tidak banyak bicara di hadapannya. (3)Tidak berbicara selagi
tidak ditanya terlebih dulu oleh gurunya. (4)Tidak bertanya sebelum meminta idzin terlebih dulu. (5)Tidak menentang ucapan guru dengan ucapan (pendapat) orang lain.(6)Tidak menampakkan penentangannya terhadap pendapat gurunya, apalagi menganggap dirinya paling pandai. (7) Tidak boleh berbisik kepada teman di sebelah ketika guru sedang berada di majelis (forum belajar). (8) Tidak menoleh-noleh ketika sedang berada di depan gurunya, tetapi harus menundukkan kepala dan tenang seperti dia sedang melakukan shalat. (9) Tidak banyak bertanya kepada guru ketika sang guru dalam keadaan letih. (10) Hendaknya berdiri ketika gurunya berdiri dan tidak berbicara dengannya tatkala dia sudah beranjak dari tempat duduknya. (11) Tidak mengajukan pertanyaan kepada guru di tengah perjalanannya. (12) Tidak berprasangka buruk kepada guru, ketika sang guru melakukan perbuatan yang secara dhahir-nya tampak mungkar,sebab dia lebih mengetahui rahasia (maksud perbuatannya). Dalam kasus ini si santri (murid) hendaknya mengingat ucapan Nabi Musa AS kepada Nabi Khidir AS seperti yang diterangkan dalam Al-Qur’an S. Al-Kahfi Ayat 71 yang terjemahannya berbunyi : “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya ? Sesungguhnya engkau telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.”
Karena besarnya pengaruh teologi Asy’ariyah ini, maka timbullah butir-butir tradisi yang “kurang positif” di dalam sistem pendidikan pesantren, yang di antaranya berupa :
Pertama, pandangan bahwa ilmu adalah hal yang sudah mapan dan dapat diperoleh melalui barokah Kyai.
Kedua, pandangan tidak kritis yang menyatakan bahwa apa-apa yang diajarkan oleh Kyai, ustadz dan kitab-kitab agama diterima sebagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Ketiga, pandangan bahwa kehidupan ukhrawi paling penting, sedang kehidupan duniawi dipandang tidak atau kurang penting.
Keempat, metode belajar dengan menghafal dan pemikiran tradisional yang diterapkan untuk semua ilmu.
Kelima, kepatuhan mutlak pada Kyai, guru dan kehidupan kolektif (asrama) sehingga dapat menghambat perkembangan individualitas (jati diri) dan menghambat timbulnya berpikir kritis.
Keenam, pandangan hidup fatalistis (deterministik) yang menyerahkan nasib kepada keadaan dan perilaku sakral dalam menghadapi berbagai realitas kehidupan keduniawian sehari-hari.
Kalau demikian, alternatif (konsep) apa yang bisa ditawarkan untuk mempermutu teologi pendidikan pesantren, khususnya dalam rangka mencari identitas yang futuristik ? Dalam tulisan ini saya hendak menawarkan alternatif yang berbentuk rekonstruksi, tetapi tanpa harus berpretensi mengeleminasi total (dekonstruksi makro) atas seluruh tradisi sistem pendidikan yang berlangsung di dalamnya. Maka rekonstruksi yang dimaksudkan di sini adalah hampir mirip dengan suatu adagium yang sangat terkenal di tengah masyarakat NU yang terjemahannya berbunyi: “Memelihara budaya lama (klasik) yang masih baik (fungsional)” sekaligus secara simultan “Mengambil (mengakomodasi) budaya baru yang dipandang lebih baik (lebih bermakna bagi pemutuan peradaban)”. Dalam arti lain, tawaran alternatif ini tetap bernuansa menggunakan metode analisis dekonstruksi, tetapi sebatas terhadap masalah-masalah yang memang tidak rasional untuk dipertahankan.
Sebelum merinci analisis alternatif rekonstruksi itu, ada baiknya memantau perkembangan wacana pemikiran mengenai konsep-konsep pendidikan nasional yang tampak mulai menghadirkan rumusan-rumusan filosofis baru yang dikenal dengan istilah SBM (School Based Management) dan diterjemahkan dengan istilah MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah).
Konsep MPMBS berfilosofi, bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional yang sinkron dengan tantangan peradaban modern yang bermotto kultur keterbukaan (transparansi), strategi pendidikan yang feasible ialah bermodel manajemen yang bisa memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah, dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif (melibatkan unsur efektif masyarakat yang berbentuk komite sekolah) untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah dan mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka ke bangkitan pendidikan nasional.
Penjabaran secara karakteristik dari filosofi MPMBS itu berbentuk: Pertama, karakteristika proses. Kedua, karakteristika input. Ketiga, karakteristika output.
Adapun karakteristika proses mengandung item-item penting yang berupa : (1) Proses belajar-mengajar yang tinggi efektivitasnya.(2) Kepemimpinan sekolah yang kuat & profesional. (3) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib. (4) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif. (5) Sekolah memiliki budaya mutu. (6) Sekolah memiliki Team Work yang kompak, cerdas dan dinamis. (7) Sekolah memiliki kewenangan dan kemandirian. (8) Memperoleh partisipasi yang kuat dari warga sekolah dan masyarakat. (9) Memiliki budaya keterbukaan (transparansi) manajemen. (10) Memiliki kemauan untuk berubah secara psiko-logis dan fisik. (11) Melakukan evaluasi dan refleksi secara berkelanjutan. (12) Responsif dan antisipatif (“menjemput bola”) terhadap kebutuhan yang kontekstual. (13) Membangun komunikasi lintas arah yang baik. (14) Memiliki akuntabilitas (bonafide).
Sementara karakteristika inputnya adalah: (1) Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas (terukur). (2) Memiliki SDM (sumber daya manusia) yang siap pakai serta kreatif. (3) Memiliki staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi. (4) Memiliki harapan prestasi yang tinggi (5) Terfokus secara optimal ke arah audience (murid dan walinya). Dan (6) Memiliki konsep manajemen yang jelas dan realistis.
Sedangkan karakteristika outputnya berupa: (1)Memproduk alumnus yang tinggi prestasi akademiknya (academic achievement), seperti NEM, peserta atau pemenang acara lomba karya tulis ilmiah, olahraga, dan lain sebagainya. (2) Menciptakan prestasi non-akademik (non-academic achievement) yang terpercaya, seperti tampilan moralitas alumnus dan kemampuan kerjasamanya dengan berbagai pihak.
Ada tiga prasyarat yang harus diorientasikan oleh para pegiat pendidikan dalam kerangka SBM / MPMBS tersebut di atas: (1) Pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan dititikberatkan kepada pemberdayaan lembaga dengan memberi otonomi yang luas. (2) Pengembangan sistem pendidikan yang terbuka bagi keragaman audience dan pelaksanaannya. (3) Idealisme pengembangan pendidikan itu mengarah kepada pemutuan solidaritas kesatuan bangsa. Tiga prasyarat yang dilontarkan oleh Prof. Dr. H.A.R. Tilaar ini menegaskan urgensinya paradigma baru sistem pendidikan nasional, sehingga bangsa Indonesia bisa mengejar ketertinggalan peradaban keilmuan dan teknologinya secara lebih cepat.
Jika telah sejauh itu tingkat perkembangan wacana konseptualisasi pendidikan nasional, mampukah para aktivis pengelola pendidikan pesantren mengakomodasi aspek-aspek urgen dari paradigma filosofi pendidikan versi SBM /MPMBS misalnya ? Jawabannya adalah mampu. Karena di samping perlu dilakukannya rekonstruksi teologis di dalam paradigma sistem pendidikannya, lembaga pendidikan pesantren umumnya telah memiliki suatu modal besar (software) yang menurut Mastuhu berbentuk :
Pertama, pandangan pesantren bahwa manusia dilahirkan menurut fithrah-nya masing-masing, sehingga tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan daya-daya dan kreativitas yang positif (Ilahiyah) dan mencegah timbulnya daya-daya yang negatif (syaithoniyah) yang biasanya berupa perbuatan fakhsya’ dan munkar.
Kedua, pandangan bahwa tugas melaksanakan pendidikan dinilai sebagai ibadah kepada Allah SWT, sehingga ketika melaksanakan proses belajar-mengajar seyogyanya dilakukan secara ikhlas dan hanya mengharap ridlo (perkenan/restu)-Nya.
Ketiga, hubungan yang baik dan saling menghormati antara murid (santri) dan guru. Murid percaya bahwa dirinya tidak akan menjadi orang baik dan pandai tanpa budijasa guru, dan sang guru dalam melaksanakan tugasnya dirasakan sebagai mengemban amanat Allah SWT sesuai dengan fungsi dirinya sebagai Khalifatullah (“Wakil Allah”) di bumi.
Keempat, lembaga pendidikan pesantren dipandang sebagai tempat mencari ilmu dan mengabdi, bukan sebagai tempat mencari kelas dan ijazah.
Kelima, metode belajar halaqah dan sorogan yang cukup potensial diberi muatan-muatan baru yang merangsang tumbuhnya dialog-dialog kreatif secara lintas arah.
Keenam, nilai pendidikan dengan sistem asrama yang bermuatan : (1) Pandangan bahwa dalam hak, orang sebaiknya mendahulukan hak orang lain daripada haknya sendiri. Namun dalam hal kewajiban, orang sebaiknya mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain. (2) Keteladanan dan berlomba dalam kebajikan dalam hal mengamalkan ajaran agama dalam hidup keseharian di pesantren.
Ketujuh, pandangan hidup jangka panjang dan menyeluruh, bahwa bagi orang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, ia selalu bersikap optimistis dalam menjalani kehidupan. Ia tidak akan putus asa jika menerima musibah, dan sebaliknya ia juga tidak “lupa daratan” jika memperoleh keuntungan, karena setiap peristiwa dipandang belum final dan semua peristiwa akhirnya akan kembali ke Kebenaran Allah SWT, sekalipun pada waktu itu ia belum mengerti.
Adapun bentuk rekonstruksi teologi pendidikan pesantren dalam kerangka aktualisasi modal software di atas adalah mengkombinasikan dimensi-dimensi penting di dalam teologi Asy’ariyah, seperti konsep tentang kasb (usaha kreatif-produktif), dengan tawaran baru (dari penulis) yang berupa teologi profetik.
Teologi profetik adalah paradigma pemikiran kebertuhanan kepada Allah SWT yang secara transendental teraplikasi ke seluruh perilaku sosial budaya personal dengan berbasiskan mentalitas (kondisi jiwa) kenabian. Setiap Nabi dan Rasul oleh Allah SWT dibekali dengan empat sifat (karakter mental), yaitu shidq (jujur), amanah (accountable), tabligh (penyampai), dan fathanah (cerdas). Dalam konteks teologi profetik, empat macam karakter mental ini dijadikan basis psikologis dalam memahami dan menerapkan ajaran-ajaran Islam yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya, seseorang yang ber-fathanah dan ber-shidiq akan tersadarkan di dalam dirinya bahwa substansi Al-Qur’an S.Ali ‘Imran: 110 yang terjemahannya berbunyi “Kamu adalah ummat yang paling baik yang dilahirkan untuk kepentingan manusia, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang berbuat yang salah, serta beriman kepada Allah,” adalah juga terfokus kepada dirinya. Menurut Jalaluddin Rakhmat, kemampuan ber-amar ma’ruf dan ber-nahi munkar amat ditentukan oleh keberimanan yang kukuh, sebab keberimanan yang semacam ini yang memotivisir perilaku ibadah yang kuat, dan ibadah yang kuat lahir dari rasa syukur dan rasa berhutang budi kepada Allah SWT.
Dalam arti lain, substansi ayat 110 Al-Qur’an S. Ali’Imran di atas menegaskan tugas kekhalifahan setiap pribadi ummat Islam. Maka jika para pengelola pendidikan pesantren terkondisikan dalam wawasan kekhalifahan semacam ini tentu saja akan memiliki target yang jelas tentang visi dan tujuan program kependidikannya. Visi dan tujuan biasanya dibentuk oleh suatu paradigma keagamaan. Sedangkan hakekat paradigma keagamaan yang digerakkan oleh sikap ketundukan yang optimal kepada Allah SWT adalah produk dari perspektif teologis yang dianutnya. Maka tak dapat dibayangkan, bagaimana mungkin seseorang yang menganut teologi fatalism (predestination) akan memiliki wawasan regenerasi kepemimpinan yang bermutu di masa kini dan masa depan ?
Adapun metodologi teologi profetik bertitiktolak dari dua macam keniscayaan epistemologis yang secara simultan perlu dirumuskan. Pertama, merumuskan formulasi substantif tentang nilai-nilai normatif dan nilai-nilai etis yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua, merumuskan substansi perjalanan kesejarahan Nabi SAW dari periode Mekah sampai periode Madinah.
Dalam kerangka epistemologis itu bukan tidak mungkin akan adanya penetrasi-penetrasi abstraktif-deskriptif dari isme-isme yang tidak Islami, sehingga kalau tidak hati-hati akan menciptakan bias-bias yang kontraproduktif terhadap visi teologisnya. Agar hal ini tidak terjadi, maka pemahaman yang benar mengenai peranan dan status akal pikiran (rasio) menurut pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah harus dikonvergensikan dengan pemahaman yang benar tentang kedudukan dan peranan wahyu serta ilham dalam kerangka pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan.
Jika hambatan-hambatan penetratif semacam itu dapat dieleminasi atau diminimalisir, maka tidaklah terlalu sulit merumuskan kerangka ontologi dan aksiologi dari teologi profetik itu. Secara epistemologis, kerangka ontologi itu mengarah kepada penguatan dimensi transendensi spiritual di mana dalam spektrum kependidikan pesantren bisa berbentuk modifikasi konsep kasb (perolehan alamiah dari suatu usaha) menjadi konsep rasionalisasi kasb secara ekstra, artinya perolehan yang diusahakannya tidak diproses secara alamiyah, tetapi secara ilmiah argumentatif yang berorientasi kepada kekinian dan kemasadepanan. Di dalam Al-Qur’an, epistemologi kasb (perbuatan dan perolehan usaha) banyak dikaitkan dengan perbuatan tangan manusia. Menurut Jalaluddin Rahman, di dalam Al-Qur-‘an terdapat 97 ayat yang menerangkan perbuatan tangan manusia yang semuanya menimbulkan konsekuensi logis, baik berupa keberpahalaan maupun keberdosaan. Konsekuensi ini sebetulnya merupakan resiko ilmiah yang disediakan oleh Allah SWT, agar supaya seluruh manusia tidak serampangan dalam berbuat apa pun, artinya perbuatannya selalu memiliki latar argumentasi yang ilmiah.
Nabi SAW sendiri tidak sedikit mensinyalir urgensinya perbuatan tangan (kasb), diantaranya hadits riwayat Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Perbuatan (Al-Kasb) yang terbaik adalah perbuatan tangan seorang pekerja yang berhasil.” Esensi hadits ini menegaskan signifikansi keberhasilan dalam mengaktualisasikan perbuatan tangan manusia, sehingga dimensi rasionalitas atau keilmiahan dari sebuah perbuatan tangan manusia sungguh merupakan keniscayaan. Semacam inilah sebetulnya apa yang dimaksudkan dengan konsep rasionalisasi kasb secara ekstra. Jadi nuansa-nuansa teologi Asy’ariyah-nya masih kental, tetapi sebatas dalam hal meluruskan konseptualisasinya secara rasional. Hal semacam ini yang tidak diperhatikan dalam wawasan teologi kependidikan pesantren.
Makna rekonstruktif atas konsep kasb di atas hanya sebagian dari propria-propria dimensi transendensi spiritual , sebab perspektif dimensi ini secara universal adalah perilaku menghadirkan nilai-nilai atau simbolisasi sifat-sifat Allah SWT dalam manifestasi mobilitas hidup manusia. Simbolisasi ini terkandung di dalam 99 sifat (Al-Asmaul Husna) Allah. Jadi dalam hal ini manusia memperbaiki karakteristika dirinya dengan cara menauladani sifat-sifat-Nya yang Agung. Tujuan transendensi ini adalah menambahkan dimensi transendental dalam perilaku kebudayaannya, sehingga isme-isme populer yang kini merambah masyarakat dunia –seperti hedonisme, materialisme dan sekularisme— idak mudah mengkontaminasi dirinya, apalagi hal itu dapat mendistorsi kualitas keberimanannya. Dalam spektrum strategi kebudayaan Islam, kata Kuntowijoyo, dimensi ini akan menjadi solusi yang rasional dan terbaik, khususnya untuk menekan laju perbuatan-perbuatan dosa yang terkadang terjadi secara insidental.
Nah, dalam lingkup sistem pendidikan pesantren, rekonstruksi teologi ini menghadirkan resiko ilmiah dalam bentuk penjungkirbalikan terhadap “pentingnya” perilaku kultus terhadap kyai, keluarga dan familinya, atau para ustadz. Tradisi kultus semacam ini memang merupakan “anak kandung” dari pola kepemimpinan paternalistik yang kebanyakan dianut oleh sekian banyak pesantren. Sedangkan kultus kepada selain Allah SWT justru sangat tidak ilmiah. Dalam konteks ini metode analisis dekonstruktif tak bisa dihindarkan. Sebab manfaat dekonstruksinya adalah memperbaiki dan menyingkirkan distorsi-distorsi tertentu yang tidak rasional di dalam wawasan atau paradigma teologis-nya.
Adapun kerangka aksiologi dari teologi profetik adalah pencanangan dan pengaplikasian transformasi sosial, yaitu usaha-usaha sosio-kultural yang terfokus kepada penggiatan “memanusiakan” manusia, agar supaya seluruh masyarakat dilepaskan dari kecenderungan “dijajah” dan diperlakukan tidak adil. Nah, dalam lingkungan pendidikan pesantren dimensi transformasi sosial ini bisa berbentuk program regenerasi dan pengkaderan. Sebagaimana telah diketahui oleh publik, bahwa lembaga pendidikan pesantren hampir identik dengan sebuah komunitas ulama, maka masalah krisis kaderisasi ulama yang responsif terhadap tantangan peradaban modern harus benar-benar diperhatikan. Artinya, sistem pendidikan pesantren harus serius memperhatikan redaksi hadits Nabi SAW yang diriwayatkan secara muttafaq ‘alaih yang terjemahannya berbunyi : “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari dada manusia (secara langsung, sehingga si alim akan menjadi orang bodoh). Tetapi ilmu itu dicabut dengan mematikan para ulama, hingga bila seorang alim telah tiada (wafat), maka orang-orang sama-sama mengangkat pemimpin yang bodoh (tentang hukum agama), lalu mereka berfatwa tanpa ilmu (tanpa dasar Al-Qur’an dan Hadits). Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang banyak).”
Dalam konteks ini, seharusnya perintisan lembaga pendidikan pesantren disediakan tidak hanya untuk masyarakat Islam, tetapi juga untuk konsumsi anak-anak muda non-Islam yang bermaksud mempelajari dari awal sekian banyak ajaran agama Islam. Artinya di dalam lembaga pendidikan ini disediakan suatu pusat studi Islam yang berfasilitas lengkap. Jadi program kaderisasi ulama yang dimaksudkan di sini adalah penciptaan kader yang berwawasan luas, berparadigma rahmatan lil’alamin, dan beridealisme futuristik. Sebab kerja-kerja transformasi sosial memang identik dengan perubahan dinamis yang disertai dengan penguatan kedaulatan ummat, sehingga mereka leluasa mendayagunakan kebebasannya dalam memilih dan merencanakan program kekinian dan kemasadepanannya (futuristik).
Dimensi transformasi sosial seperti yang disebutkan di atas dimungkinkan akan berhadapan dengan produk-produk pemikiran peradaban modern yang ternyata tidak semuanya baik, malah produk artefact-nya juga banyak yang tidak positif. Misalnya, cara berbusananya kaum wanita. Kini tidak sedikit para perempuan Islam tergoda menggunakan busana “jilbab gaul”, yaitu busana menutup kepala tetapi memamerkan keindahan dadanya. Untuk masalah-masalah begini, dimensi ketiga yang diperlukan adalah dimensi Islamisasi peradaban, yaitu upaya memperkuat nilai-nilai keislaman dan memasukkannya ke dalam bentuk-bentuk peradaban atau budaya tertentu, sehingga unsur negatifnya bisa tereleminir.
Sebagaimana diketahui bersama, betapa umat manusia di dunia sekarang telah dapat mempercanggih tampilan kebudayaan mereka lewat rekayasa IPTEK. Pada taraf klimaksnya, hal itu melahirkan arus baru yang disebut globalisasi peradaban dunia. Fenomenanya menggiring ummat manusia menjadi masyarakat industrial di mana dampak sampingannya adalah munculnya IPTEK sebagai “ideologi”. Inilah yang kata Kuntowijoyo disebut sebagai kesadaran teknokratik, yang melihat bahwa juru selamat yang baru dalam mengatasi berbagai problematika hidup manusia adalah IPTEK. Semua masalah dilihat sebagai masalah teknik dan dianggap pula sebagai penggerak sejarah yang terdepan. Akibatnya, sekian banyak proses rekayasa IPTEK itu menghebohkan para agamawan dan budayawan. Misalnya, kasus teknologi kloning manusia, dan lain sebagainya.
Karena itulah, tidak semuanya produk IPTEK itu menghasilkan peradaban yang baik dan bersesuaian dengan ajaran agama Islam. Nah, target Islamisasi peradaban adalah meresponsi dan mengeleminir unsur-unsur negatif dari peradaban yang kian modern itu. Dalam lingkungan pendidikan pesantren, peradaban modern itu berbentuk penggunaan peralatan teknologi, seperti televisi dan antena parabola, mobil, computer, alat-alat laboratorium serta telepon. Kalau tidak diwaspadai, semua peralatan teknologis itu bisa digunakan secara negatif yang kemudian mengakibatkan degradasi moral dan mentalitas. Persoalan-persoalan semacam inilah yang menurut dimensi ini perlu di-Islamisir.
Secara konseptual, istilah Islamisasi peradaban akan dituduh sebagai sikap defensif menghadapi tingkat kecanggihan rekayasa IPTEK. Akan tetapi sebagaimana pernah dilakukan oleh Prof. Dr. Ismail Al-Faruki, konsep Islamisasi peradaban tidak sekedar responsi kritik ilmiah terhadap distorsi-distorsi IPTEK. Itu juga suatu gerakan penyadaran spiritualistik bahwa masyarakat sang pelaku IPTEK itu dalam perspektif Islam adalah pranata Ilahi yang segala kecerdasannya dalam merekayasa dan menggunakan kecanggihan IPTEK harus patuh kepada bisikan hati nuraninya (fithratallah) agar supaya bisa terhindar dari pembuatan dan penggunaan produk IPTEK yang bertentangan dengan ajaran agama.
Jika sistem pendidikan pesantren bersedia melakukan rekonstruksi teologis semacam itu, maka konvergensi antara konsep rasionalisasi kasb secara ekstra dengan teologi profetik yang berkomponen transendensi spiritual, transformasi sosial dan Islamisasi peradaban akan mempengaruhi wawasan tentang prinsip-prinsip pendidikan Islam yang diprogramkan di dalamnya, bahwa filosofi sistem pendidikan Islam model pesantren harus difokuskan kepada tujuan ganda yang komprehensif. Di satu sisi bertujuan mencetak anak didik yang tafaqquh fid-din (mendalam pemahaman agamanya), dan di sisi lain mempersiapkan mereka sebagai kader pemimpin ummat yang berwawasan transformatif dan futuristik, serta beridealisme memperkuat dimensi keislaman dalam menggunakan produk-produk peradaban modern. Sehingga jika di tengah masyarakatnya terjadi suatu ketimpangan budaya, ekonomi atau politik destruktif, maka sang kader itu bisa membuat solusi yang baik dan santun. Dia tidak akan frontal (marah) atau grusa-grusu menyelesaikan suatu masalah sulit. Dalam arti lain, tidak semua produk peradaban modern harus ditolak, namun disikapi dengan bentuk sinkronisasi religius, yaitu menyelaraskan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan ajaran Islam menjadi sesuatu yang memperoleh legitimasi agama.
Tawaran rekonstruksi teologis di atas memang berformat das sollen. Akan tetapi jika bisa diaplikasikan secara sistemik, dimungkinkan akan ada perubahan metode pengajaran di dalam sistem pendidikan pesantren, yaitu dari paradigma teaching (mengajar) menjadi paradigma learning (belajar). Paradigma learning ini menggiring anak didik (santri) untuk mandiri dalam berpikir kritis dalam sebuah proses pembelajaran yang andragogis. Kalau hal ini ditradisikan dengan baik, maka di dalam lembaga ini nantinya akan tercipta suatu masyarakat belajar (learning society) yang responsif terhadap urgensi perubahan menuju ke arah yang lebih maju, sehingga stagnasi kultural atau biased akan terhindari.
Urgensi perubahan yang dimaksudkan di sini adalah dialektika internal yang dinafasi oleh sikap terbuka untuk mengakomodir konsep-konsep pendidikan baru yang feasible untuk dikonvergensikan dengan tradisi yang rasional dari sistem pendidikan pesantren yang telah baku. Dalam spektrum semacam ini lembaga pendidikan pesantren akan menemukan identitas baru yang berparadigma kekinian dan kemasadepanan (futuristik).
Secara aplikatif, dialektika internal itu akan menuju ke arah pembaruan yang substansial. Pertama, pembaruan substansi isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum yang baru dan kompetitif. Kedua, pembaruan metodologi, seperti sistem penjenjangan, sistem evaluasi dan supervisi, serta pendidikan andragogi. Ketiga, pembaruan kelembagaan, seperti jenis dan gaya kepemimpinan. Keempat, pembaruan fungsi, dari fungsi mikro kependidikan Islam yang sudah menjadi trademark-nya menuju ke fungsi sosial budaya makro –termasuk ekonomi—yang berparadigma menumbuhkan dan memperkuat kedaulatan ummat. Dalam konteks ini lembaga pendidikan pesantren akan mampu melakukan pemberdayaan ganda yaitu secara internal kelembagaan dan secara eksternal kemasyarakatan secara luas. Kemampuan semacam ini yang kini amat dibutuhkan.

Makalah yang singkat ini hanya secuil dari sekian banyak persoalan menarik yang menyata dan tetap menguat sebagai tradisi di dalam sistem pendidikan pesantren. Hal lain yang berdimensi sosiologis atau berdimensi politis masih tetap menunggu para pengamat untuk menguak dan membongkar detail-detailnya yang obyektif. Demikianlah, dan terima kasih. Wallahu A’lam bish-Shawab. Di Prenduan, 01 Maret 2007 / 11 Shafar 1428.

Kamis, September 27, 2007

Pendidikan di Sumenep

MENCARI UPAYA PENINGKATAN PENDIDIKAN
DI KABUPATEN SUMENEP

Oleh A. Naufal Ramzy

A. Pendahuluan

Mungkinkah mempermutu pembangunan daerah dan masyarakat Kabupaten Sumenep dapat tercapai tanpa serius mengedepankan urgensinya pencerahan berpikir seluruh komponen masyarakatnya ? Mungkinkah masyarakatnya itu dapat tercerahkan wawasan berpikirnya tanpa melalui perbai- kan dan pembermutuan pembangunan sektor dan sistem pendidikan di kawasan itu ?
Jawabannya tentu ya ! Sebab secara historis, turun- naiknya peradaban suatu bangsa amat ditentukan oleh mutu pembangunan pendidikan bangsa itu. Misalnya, peradaban bangsa Yunani pada tahun 350-an SM demikian memukau bukan karena kekuatan militer mereka tetapi justru karena peranan para filsufnya (sep. Socrates, Plato dan Aristoteles) dalam mencerahkan pola berpikir masyarakatnya. Budaya berpikir dan kritisisme pemikiran mereka sangat berpengaruh justru hingga dekade zaman modern terakhir ini.
Di Kabupaten Sumenep atau Madura pada umumnya terdapat sekian figur elite lembaga pendidikan model pondok pesantren di mana hingga saat ini masih lebih dipercayai terampil membina akhlak yang luhur sehingga para alumninya mampu sukses bermobilitas sosial dan berperan aktif dalam dinamika peradaban masyarakat.
Akan tetapi, mungkinkah mereka cermat berpikir ba- gaimana nasib pendidikan masyarakat Madura, kini dan masa depan, justru tatkala para peserta didiknya terlihat tidak berdaya menghadapi benturan kebudayaan modern yang semakin liberalis-materialis-sekularistik ? Bahkan yang tidak berdaya bukan hanya peserta didik, namun justru para guru, kepala sekolah, pengelola yayasan dan stakeholder terkait. Beberapa contoh kasusnya adalah perbuatan menambah jumlah murid secara fiktif agar supaya memperoleh dana BOS secara lebih banyak; adanya pengelola yayasan yang mendahulukan gaya hidup bermobil mewah ketimbang mem- perbaiki sarana atau prasarana lembaga pendidikannya; dan contoh lainnya seperti membuat proposal yang mengandung banyak kebohongan.
Lalu bagaimana konsep minimal memperbaiki situasi semacam itu ? Tulisan ini akan mencoba memikirkan hal itu.

B. Elite Strategis Pendidikan Kab. Sumenep

Secara esensial, pembangunan pendidikan masyara- kat Kabupaten Sumenep tidak akan terlaksana dengan baik dan memuaskan apabila tidak melibatkan 4 unsur penting :
1. Entitas Pemda Tkt II Kabupaten Sumenep.
2. Entitas DPRD Tkt II Kabupaten Sumenep.
3. Entitas Tokoh, Ulama dan Kyai.
4. Entitas Masyarakat.

Keempat entitas ini tidak bisa dibiarkan berjalan sen-diri-sendiri dalam mengurusi pembangunan pendidikan. Walaupun mereka semuanya saling memiliki tugas yang berbeda-beda di sektor pendidikan, namun secara esensial mereka harus menemukan kesepakatan yang sama tentang urgensinya memikirkan dan mengambil kebijakan strategis perihal 7 macam prinsip perencanaan pendidikan makro di kawasan Kabupaten Sumenep, yaitu:
1. Seleksi rekrutmen guru dan kepala sekolah.
2. Training sistemik buat guru dan kepala sekolah.
3. Efisiensi dana BOS dan dana lainnya.
4. Pembermutuan sarana dan prasarana.
5. Pemanfaatan teknologi, informasi dan riset.
6. Pengawasan melekat atas proses belajar- mengajar dan kejujuran pihak pengelola seko-lah / madrasah dan yayasan.
7. Sekolah unggulan dan murid yang berprestasi.

B.1. Entitas Pemda Tkt II Kabupaten Sumenep

Dalam menyusun perencanaan pembangunan pendi- dikan, pihak Pemda Tkt II Kabupaten Sumenep sepantasnya benar-benar memperhatikan aspirasi masyarakat. Opini-opini mereka yang bagus sepantasnya diserap dan dimasukkan dalam konsepnya. Sebab dari beberapa pertemuan musya- warah perencanaan pembangunan (musrenbang) Pemda yang diadakan di setiap kecamatan, aspirasi masyarakat hanya ditampung, dicatat, tetapi tidak ditindaklanjuti.
Kebijakan makro pendidikan tersebut seharusnya di- susun secara konseptual, yuridis (mengacu pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas), dan juga berbasis pada kultur khas lokal yang responsif terhadap langkah-langkah baru yang inovatif bagi kemaslahatan publik.
Secara yuridis, konsep pendidikan itu harus berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Pasal 3).
Selain itu, secara kultural, konsep pendidikan khusus Kabupaten Sumenep harus berbasis pada tatakrama halus sikap perilaku masyarakatnya. Hal ini bukan berarti memper-tahankan kultur tertentu yang feodalistik. Kehalusan budi pekerti masyarakat Sumenep yang teraktualisasi dalam kehidupan sehari-hari seharusnya juga dapat dikemas dalam mata pelajaran khusus yang mudah diakses sewaktu-waktu.
Setelah konsep pendidikan tersebut disetujui oleh pi-hak DPRD, pelaksanaan pembangunan pendidikan itu harus menempuh langkah paralel atau simultan antara memper-mutu internal sekolah / madrasah dengan tindakan pengawa- san yang evaluatif serta penyelenggaraan training guru / ke- pala sekolah atau stakeholder yang terkait secara periodik.

B.2. Entitas DPRD Kabupaten Sumenep

Bagaimana mempermutu entitas DPRD Kabupaten Sumenep di sektor pembangunan pendidikan ? Sederhana saja, yaitu berbicara tentang pendidikan secara konseptual berdasarkan data-data riset terbaru dari tengah masyarakat Kabupaten Sumenep. Karena kekeringan aktivitas riset itulah maka salah satu anggota DPRD Kabupaten Sumenep yang berbicara di dalam forum musrenbang kecamatan sangatlah kurang bermutu disebabkan tidak didukung oleh data-data riset terbaru. Penyebabnya, karena lembaga DPRD Kabu-paten Sumenep belum memiliki lembaga riset independen yang bonafide, yang risetnya ditunggu masyarakat luas. Efek dominonya adalah tidak sedikit anggota DPRD yang tampil secara “asbun” (asal bunyi) atau diam tak perduli. Hal ini juga yang menyebabkan mereka malas turun ke bawah untuk melakukan monitoring periodik ke lembaga-lembaga sekolah/ madrasah, sehingga adanya pengelola pendidikan di bawah yang berbuat curang dalam bentuk membengkakkan jumlah murid secara fiktif tidak sempat diketahui, lolos begitu saja.
Jika riset semacam itu dipandang urgen oleh DPRD, maka ke depannya nanti mereka akan terhindar dari sikap- sikap politik yang sektarian yang hanya mementingkan go-longan atau komunitas politiknya sendiri, mereka akan ilmiah di setiap kali berbicara karena esensi pembicaraannya hanya mengacu kepada kebenaran hakiki dan kebaikan publik.

B.3. Entitas Tokoh, Ulama dan Kyai

Mutu pendidikan di Kabupaten Sumenep juga sangat ditentukan oleh peranan aktif para tokoh pendidik, ulama dan kyai dalam mengkritisi konsep pembangunan pendidikan yang dibuat oleh Pemda Tkt II sebelum konsep itu disetujui / tidak disetujui oleh DPRD Kabupaten Sumenep.
Artinya, mereka sepantasnya menemukan akses riil untuk mengetahui konsep itu. Tentu mereka harus pandai- pandai memperbagus komunikasi interaktif dengan pihak Pemda Tkt II Kabupaten Sumenep dan pihak DPRD-nya. Hal ini menjadi amat penting jika diperhadapkan dengan masa depan generasi muda Kabupaten Sumenep khususnya untuk mengetahui sebanyak apa dana APBD yang disediakan buat membangun pendidikan masyarakat Sumenep.
Entitas tokoh, ulama dan kyai, secara vertikal bisa menjadi penyambung lidah masyarakat luas, dan secara horizontal berperan penting dalam mencerahkan wawasan berpikir mereka khususnya dalam rangka memberdayakan mereka untuk menyadari hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik dan berkualitas baik secara rohani maupun secara jasmani yang berperadaban maju.
B.4. Entitas Masyarakat Luas

Ujung tombak corak pendidikan masyarakat Kabupa- ten Sumenep justru berada di tangan masyarakat sendiri. Jika mayoritas masyarakat menyadari kewajibannya membia- yai proses kependidikan anak-anaknya, maka seharusnya mereka juga menyadari kewajibannya memonitoring turun-naiknya semangat belajar anak-anaknya.
Masyarakat perlu bersepakat bahwa kini mereka me- miliki musuh bersama yang berbentuk acara-acara berdam- pak negatif dari tontonan TV. Semakin banyak tahu terhadap acara-acara berefek negatif itu, maka semakin mudah meng- arahkan anak-anaknya untuk lebih menyenangi membaca buku, belajar, dari pada memelototkan mata menonton TV. Sebab penyelenggaraan pendidikan yang afektif-riiil-aktualita- tif hanya tatkala peserta didik telah pulang dari gedung di mana mereka bersekolah, yang kemudian masuk ke ruangan praktek pendidikan di rumahnya masing-masing.
Karena itu, lembaga pendidikan model pondok pe- santren lebih terpercaya mengarahkan fokus potensi berpikir dan emosi peserta didik, disebabkan acara-acara yang ber- corak tontonan entertainment sangat jarang menggoda mereka sehingga waktu-waktu mereka benar-benar efektif.
Adapun masyarakat yang menjadi anggota komite sekolah tertentu sangatlah diharapkan peranannya dalam ikut mendorong dan membantu pembermutuan lembaga sekolah / madrasah di mana anak-anaknya bersekolah. Mereka amat diharapkan cerdas dan kritis menyikapi apa pun fenomena yang berkembang di lingkungan sekolah itu, baik itu fenomena yang positif maupun terlebih lagi yang negatif. Semuanya tentu, agar supaya performance pembangunan pendidikan masyarakat Kabupaten Sumenep kian bermutu.
Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Penulis adalah alumni UIN Ciputat Jakarta yang kini sedang menjabat sebagai Kepala KUA Kec. Ganding.